Kamis, 30 April 2009

Penantang UN Sebagai Prasyarat Masuk PTN

Penantang UN Sebagai Prasyarat Masuk PTN

TANGGAL 20 sampai 24 April 2009 telah dilakukan pelaksanan Ujian Nasional (UN) untuk tingkat SMA dan SMK dan tanggal 27 April 2009 dimulai pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMP. Dalam pelaksanaan tidak begitu banyak perubahan, hanya dalam penentuan Tim Pemantau Independen muncul sifat arogan PTN yang mengklaim bahwa untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah ranah pantauan Perguruan Tinggi.

Dengan justifikasi bahwa hasil Ujian Nasional (UN) dimasa yang akan datang digunakan sebagai prasyarat masuk PTN. Penulis berpikir, baru saja wacana PTN telah berani memperluas kekuasaan. Artinya dasar pembenaran untuk menguasai pemantauan UN tingkat SMA ini belumlah kuat payung hukumnya. Padahal dalam petunjuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) dengan jelas disebutkan bahwa pemantau independent adalah dosen PTN dan/atau PTS, Widyaswara LPMP/P4TK, anggota organisasi profesi pendidikan bukan guru, dan anggota dewan pendidikan yang ditetapkan oleh penanggung jawab tingkat provinsi atau pemantau independen tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota serta koordinator tingkat kabupaten/kota untuk pemantau independent tingkat sekolah/madrasah.

Jadi tidak ada secara tegas dinyatakan bahwa pemantauan UN SMA adalah ranah PTN, sedangkan pemantauan UN untuk SMK dan SMP adalah jatah PTS dan lainnya. Akibat pembenaran ini maka sekretariat panitia Ujian Nasional untuk SMA dipusatkan di PTN. Konsekuensi lebih lanjut koreksi hasil UN untuk SMA juga dipusatkan di PTN. Jika dahulu sekretariat panitia Ujian Nasional semuanya dipusatkan di Kantor Pendidikan Nasional Kota, maka tahun ini Diknas kota hanya dipercayakan sebagai sekretariat panitia untuk SMK dan SMP.

Motif Kualitas atau Kekuasaan

Jika wacana hasil Ujian Nasioan ini benar-benar digunakan sebagai prasyarat masuk PTN, ini berarti bagi siswa yang tidak lulus Ujian Nasional tidak diperbolehkan masuk PTN. Ini betul-betul diskriminatif kualitas dan melecehkan Perguruan Tinggi Swasta.

Sayangnya Pimpinan perguruan Tinggi swasta, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta serta Kopertis belum ada yang melakukan penentangan terhadap masalah ini. Efek yang terjadi adalah : (1) secara psikologis berakibat terhadap citra Perguruan Tinggi Swasta dianggap sebagai perguruan tinggi kelas dua setelah PTN.

Padahal di Indonesia ada juga PTS yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan PTN. (2) Jika wacana ini menjadi kenyataan, Dikti sesegera mungkin mencabut ketentuan membolehkan siswa yang lulus paket C dan tidak lulus Ujian Nasional boleh mengikuti seleksi di PTS. Ini betul penghinaan terhadap PTS. (3) Munculnya arogansi pihak PTN, karena PTN berupaya memperluas kekuasaannya dengan melakukan monopoli jatah pemantauan SMA Negeri dan Swasta sebagai obyeknya, sedangkan jatah pemantauan Tipe E bagi dosen-dosen PTS dan profesi lainnya menjadi berkurang karena hanya kebagian Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Penantangan

Pertama. Penentangan pertama kali telah dilontarkan oleh pakar pendidikan yaitu Dr. Arifin Rachman (dahulu pembina bahasa Inggris di TVRI), dikatakannya “ketika ada maksud UN menjadi syarat masuk perguruan negeri, ada kerancuan berfikir tentang makna evaluasi. Seleksi untuk perguruan tinggi memiliki maksud dan tujuan yang berbeda dengan UN. Tes UN merupakan achevment test yang mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran, sedang test masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi merupakan predictive test yang mengukur kemampuan calon menjalani proses pendidikan.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa usaha menggabungkan keduanya tentu tidak lagi berangkat dari makna dan jati diri tes, tetapi bagian dari upaya pemenangan perang atas nama kekuasaan. Mempertemukan kedua tes dalam satu paket mengabaikan karakter dan prinsip pendidikan yang selama ini berfokus pada anak didik sebagai obyek.

Logika padegogis dikalahkan strategi pemenangan politis yang tentu saja masing-masing memiliki logika sendiri-sendiri”.

Kedua. Pihak PTN seolah-olah lupa dengan prinsip pola tunggal bahwa PTN dan PTS menganut, artinya antara PTN dan PTS tidak ada perbedaan. Bahkan pengaturan antara PTN dan PTS tidak ada pemisahan. Ini terbukti telah dihilangkannya dalam struktur pada tingkat Dirjen yaitu Dirgutiswa (Dirjen Pergurua Tinggi Swasta). Yang ada saat ini adalah PTN dan PTS berada dalam satu payung yang sama yaitu Dirjen Pendidikan Tinggi.

Ketiga. Jika PTN tidak membolehkan siswa SMA yang tidak lulus Ujian Nasional mengikuti seleksi PTN, hilangkan penerimaan dua kali yaitu penerimaan calon mahasiswa : (1) melalui jalur SPMB, (2) Penerimaan mahasiswa tingkat Diploma dan (3) penerimaan mahasiswa kelas ekstensi dengan menerima siswa yang baru tamat. Padahal pengertian ekstensi itu sendiri adalah melanjutkan pendidikan bagi mereka yang telah mendapat gelar sarjana muda atau mereka yang telah setahun menganggur atau karena kerja. Jadi tidak boleh menerima langsung calon mahasiswa yang baru saja tamat SMA. Tujuan pemerintah (Mendiknas) sebenarnya sudah baik yaitu untuk pemerataan pendistribusian siswa agar PTS juga mendapat jatah mahasiswa yang berkualitas.

Keempat. Mendiknas sebaiknya menghilangkan ketentuan bahwa bagi siswa yang tidak lulus SMA dapat mengikuti paket C dan lulusan paket C dapat mengikuti seleksi yang diselenggarakan Perguruan Tinggi. Berdasarkan fakta di Kota Jambi ketika pelaksanaan Ujian Nasional ditemukan sebanyak dua ratus lebih siswa yang tidak mengikuti Ujian Nasional. Setelah diidentifikasi ternyata siswa yang tidak ikut Ujian Nasional tersebut adalah mereka yang tidak lulus UN tahun lalu dan telah lulus ujian paket C dan mendaftarkan diri kembali untuk mengikuti UN tetapi tidak datang. Hal ini disebabkan mereka telah hilang kepercayaan diri (lost confidence) sebab mereka tidak belajar lagi secara rutin di sekolah dan mereka tidak diwajibkan mengulang dibangku kelas tiga. Kecuali mereka diwajibkan mengikuti proses belajar mengajar kembali di kelas tiga mungkin rasa percaya dirinya dapat bangkit kembali, mengingat pelajaran yang diberikan tidak statis, tetapi bersifat dinamis.

Kelima : Jika PTN beranggapan bahwa PTN lebih berkualitas dibandingkan PTS, ubah saja Perguruan Tinggi Negeri sebagai Universitas research. Jadi para dosen tidak lagi berkeliaran mencari rezeki (lokak) di PTS. Para dosen PTN diharapkan lebih concern dibidang penelitian dan mampu menjual hasil penelitiannya kepada instansi pemerintah atau perusahaan swasta. Disamping itu dosen PTN diharapkan lebih memperhatikan mahasiswanya. Belakangan ini disinyalir mutu mahasiswa PTN menurun disebabkan mahasiswa S1 dan D. III lebih banyak diajar oleh asisten dosen ketimbang dosen senior. Dosen senior lebih aktif mengajar di swasta, karena ia mendapat imbalan ngajar lebih besar di swasta.

Keenam : Jika pihak PTN memberlakukan prasyarat siswa yang tidak lulus UN tidak boleh masuk PTN, pihak PTS memboikot dengan mengembalikan dosen-dosen PTN yang mengajar di PTS dikembalikan ke habitatnya (PTN). Dosen PTN dalam hal ini diuntungkan karena dapat mengajar di PTS, sedangkan dosen PTS belum tentu dilirik untuk mengajar di PTN. Padahal mengenai kemampuan intelektual antara dosen PTN dan PTS relatif adanya. Di PTS juga sudah mulai banyak dosen yang bergelar S2 dan S3 bahkan Profesor.(*)