Selasa, 13 April 2010

Iklan Dan Industri Politik

Semakin mendekatnya pemilihan Gubernur Jambi menjelang Juni 2010, ternyata berkorelasi pula dengan semakin banyaknya iklan politik yang bermunculan. Hal ini dapat terlihat berbagai poster, balegho dan spanduk-spanduk yang di pasang di tempat-tempat strategis baik di Kota Jambi maupun di kabupaten-kabupaten lingkungan Propinsi Jambi. Media massa dan elektronikpun tidak luput dimanfaatkan sebagai media iklan bagi calon-calon yang akan ikut bertarung dalam arena Pilgub 2010, Fenomena ini paling tidak didorong oleh perkembangan globalisasi teknologi dan informasi yang begitu pesat, iklan menjadi sangat penting dalam pembentukan citra dan selera publik. Iklan menjadi sarana komunikasi efektif bagi partai politik dan para politisi dalam membangun citra.
Di Indonesia iklan politik muncul pertama kali pada pemilu 1997 dan kemudian berkembang pesat pada tahun 2004 dan terakhir ini pada tahun 2009, tidak kurang ribuan spot iklan politik menghiasi stasiun televisi. Pelan tapi pasti, kini iklan politik menjadi pilihan utama cara berkampanye selain cara yang lama yaitu kampanye di lapangan terbuka dalam melakukan mobilisasi massa.
Iklan politik dijadikan alat perayu bagi masyarakat dengan cara menampilkan banyak wajah sesuai dengan beragamnya kelompok masyarakat seperti : ibu-ibu, kaum muda, buruh, petani, paguyuban primordial dan lainnya. Banyaknya modifikasi iklan politik tidak ubahnya seperti iklan produk, sama-sama merayu konsumennya untuk memilih produknya, yang berbeda hanyalah iklan produk berupaya menarik pembeli untuk membeli barang-barangnya sementara iklan politik berusaha mencari dukungan pemilih, meningkatkan popularitas dan membentuk citra.
Fenomena banyaknya iklan politik yang kian marak dapat kita cermati sebagai pertanda, Pertama, partai politik atau para politisi dihadapkan pada persoalan semakin mudahnya masyarakat berubah (tidak konsisten) dan serba instant. Kedua, modal ekonomi menjadi penentu penting dalam iklan politik. Semakin besar uang yang dimiliki semakin besar pula kesempatan beriklan, dan terbuka besar peluang atau kesempatan mendapatkan pengakuan, prestise dan simpati publik. Ketiga, Iklan menjadi sarana pertarungan bagi partai politik atau para politisi untuk memenangkan pertarungan politik dengan jalan mempengaruhi presepsi dan menggiring kesadaran masyarakat, bahwa sedang memperjuangkan hal yang sama dengan apa yang dialaminya.
Ruang iklan pada dasarnya dapat dijadikan ruang partisipasi dan akses masyarakat atas opini bebas dari paksaan atau dominasi politik, namun alih-alih menghadirkan ruang perdebatan iklan, kini iklan politik menghadirkan ruang komersialisasi politik, karekter public perlahan-lahan terkikis oleh kekuasaan ekonomi dan politik.
Tidak ayal lagi, praktek politik kini perlahan tapi pasti mengalami pergeseran menuju industri politik dimana kekuatan ekonomi menjadi pilihan favorit dalam menawarkan figure, platform dan janji-janji politik. Konsekuensinya adalah matinya ruang interaksi antara parpol, politisi dengan konstituennya, jika dulu praktek konvensional melalui kampanye lapangan atau mobilisasi massa kita dapat melihat kedekatan relasi parpol dan konstituennya, maka pada masa industri politik ini mengarah pada relasi produsen dan konsumennya.
Industri Politik
Meminjam istilah Baudrillard simulacrum, dalam iklan yang nyata dan tidak nyata menjadi kabur. Lewat iklan kita dapat merekayasa apapun, kita bisa menampilkan dua tokoh yang dengan kapasitas yang sama (similar), tetapi kenyataannya memiliki kapasitas yang berbeda (different). Hal ini dilakukan karena hasrat ingin popular dan mendapat simpati publik.
Dalam era industri politik saat ini siapa saja dapat dengan mudah terkenal, kita meng-iklan diri, maka jadilah kita dikenal oleh masyarakat banyak. Contoh itulah yang terjadi pada pemilu 2004 dan 2009, tiba-tiba saja muncul sosok yang tidak kenal sebelumnya. Proses pencitraan menjadi mudah dengan kemajuan teknologi melalui produksi iklan.
Tentu kita dapat menerka berapa besar biaya yang dikeluarkan saat kampanye pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 lalu? Angka nominal bisa mencapai ratusan milyar dan sebagian besar biayanya didominasi untuk iklan politik. Iklan politik menjadi corong utama dalam mempengaruhi masyarakat dan digunakan meningkatkan jumlah perolehan suara. Kemenangan pasangan SBY-Boediono pada pemilu presiden 2009 lalu pun tidak terlepas dari peran iklan politik yang dimainkan.
Hal inilah yang kemudian tampak menjelang pelaksanaan pemilukada Jambi 2010 ini, berbagai poster, baliho dan spot iklan ditelevisi telah banyak bermunculan, padahal masa pendaftaran cagub-Cawagub dan Masa kampanye belum dimulai. Ini membuktikan betapa besarnya peranan iklan politik dalam meraih simpati masyarakat. Coba bayangkan berapa banyak uang yang telah dikeluarkan para kandidat sebelum masa kampanye dimulai?
Kehadiran iklan secara tidak langsung menjadikan politik sebagai ladang industri yang menguntungkan. Iklan menjadi candu bagi partai dan para politisi dalam menampilkan dan mempromosikan diri. Iklan menjadi alat yang tepat sasaran dalam meraih simpati massa.
Penutup
Fenomena hadirnya iklan politik dalam system demokrasi adalah hal yang wajar, menjadi tidak wajar ketika iklan telah menjadikan politik sebagai industri, dimana kekuatan Ideologi perjuangan, Visi, Misi serta kemampuan diri yang seharusnya menjadi akar partai, politisi maupun calon-calon pemimpin bangsa ini dikalahkan oleh kekuatan ekonomi semata.
Sudah saatnya partai politik dan politisi mencari ruang-ruang alternative selain menggunakan ruang iklan. Media alternative inilah dapat digunakan untuk sosialisasi dan investasi pendidikan politik yang mencerahkan masyarakat. Sehingga kita tidak lagi memilih pemimpin-pemimpin bangsa yang lahir dari rekayasa iklan. Partai politik pengusung dan pemilih ikut bertangggung jawab baik dunia maupun akherat jika pemimpin yang dipilih ternyata tidak berkualitas. Akankah mereka yang mempunyai amunisi (mampu membeli jasa iklan) dengan kapasitas pengalaman dan wawasan terbatas, serta prestasi dan reputasi yang dipertanyakan akan mampu memperoleh kemenangan dalam pilgub Jambi 2010 di Jambi ?. Allahualam bisawab, terlalu dini untuk dijawab.

PEKERJAAN DAN PERILAKU HINA

Sebenarnya dari sudut pandangan agama tidak ada pekerjaan hina, apapun yang dilakukan manusia tidak bertentangan dengan ajaranNya, maka dianggap merupakan pengejawantahan ikhtiar untuk mempertahankan dan atau memperoleh kehidupan yang layak. Namun ada dikhotomi yaitu perilaku hina dan tidak hina. Memang idealnya setiap profesi harus mempunyai keahlian/skill dalam memperoleh nafkah hidup. Agar ia berhasil dalam memperoleh nafkah dan tidak terjebak hingga kesandung dalam perilaku hina. Gunakan agama sebagai pengontrol, apakah keahlian itu dibolehkan atau tidak dibolehkan. Misalnya tukang sulap/hipnotis yang menggunakan keahliannya untuk kejahatan dengan mempengaruhi perilaku seseorang agar menurut saja apa yang diingini ahli hipnotis. Hebatnya modus hipnotis tidak mesti ketemu langsung, melalui kontak suara saja via ponsel atau telepon orang dapat terhipnotis. Fenomena ini banyak terjadi sekarang, sehingga masyarakat jadi resah karena tertipu. Lapor polisi kadang penyelesaiannya tidak tuntas, apalagi jika si pelaku berada di luar daerah si korban. Polisi untuk melacak sejauh itu juga perlu biaya katanya. Media televisi harus bertanggung jawab akan maraknya kejadian ini karena menayangkan acara semacam sulap Dedy Corbuzer atau hipnotis ala Romy Rafael atau mencari pesulap berbakat pada acara “the master”. Akibat acara ini banyak yang belajar ilmu hipnotis untuk dimanfaatkan dalam tindakan kejahatan. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku hipnotis untuk menipu tersebut dapat dikatagorikan pekerjaan yang tampilannya tidak hina tetapi berprilaku hina, sama sebenarnya dengan perilaku oknum anggota Dewan yang menerima suap dari pihak yang berkepentingan.
Pekerjaan Hina
Orang awam hanya menganggap pelacur, germo, gigolo adalah pekerjaan hina. Namun di negara jiran Malaysia menganggap (tukang parkir, poiter pengemis, tukang ngamen, calo, penimbun jalan berlobang yang tidak legal, peminta uang untuk pembangunan mesjid di jalan-jalan dengan menggunakan jaring penangkap ikan, penjaga kotak uang di dekat wc, tukang angkut sampah. Bahkan yang lebih ekstrim lagi adalah penjaga pintu masuk yang mengawasi penumpang apakah memiliki karcis bus, peron kereta api saja dianggap pekerjaan hina. Pekerjaan terakhir ini sekarang diganti dengan mesin. Beberapa pekerjaan yang diganti dengan mesin/mekanis dapat ditunjukkan sebagai berikut : (1) Penumpang membeli karcis melalui mesin, masukkan uang ke dalam mesin karcis keluar melalui mesin. Kemudian ketika mau masuk ruang tunggu keberangkatan kita masukkan peron/karcis kedalam mesin di depan pintu masuk, kalau pintu membuka berarti karcis kita legal. Selanjut kita menunggu kedatangan kereta api dan atau bis. Setelah kereta api/bis giliran yang akan berangkat datang, penumpang naik secara tertib. Di dalam kereta api/bis tidak ada lagi pemerikasaan peron dan atau karcis. Bandingkan di Indonesia, setiap enam jam sekali petugas peron datang dengan membawa alat seperti tang memberi tanda bahwa peron kita sudah diperiksa dan masih berlaku untuk perjalanan seterusnya. Kadang terasa menyebalkan ketika kita sedang tertidurpun dibangunkan petugas bahwa ada pemeriksaan peron. Jika anda naik kereta api/trem di Malaysia hal seperti itu tidak akan pernah anda temukan. (2) Poiter (tukang angkut barang). Jika anda sampai di pelataran airport di Indonesia, maka anda akan disusul oleh tukang angkut barang, untuk menawarkan jasanya. Pemandangan ini tidak akan anda temukan di Malaysia, karena sudah disediakan alat pengangkut barang yang bisa kita dorong sendiri.. (3) Tidak menemukan Polantas di setiap persimpangan. Jika di Indonesia, khususnya Jambi, setiap simpang empat masih dijaga oleh Polantas, sehingga terkesan duplikasi, sudah ada pengaturan melalui lampu lalu lintas, kog masih ada pengaturan secara manual. Polantas di Malaysia baru bertindak jika berdasarkan pengamatan melalui monitor ditemukan ada pengemudi (driver) yang melakukan pelanggaran. Kurang lebih seperti praktek di jalan-jalan Tol di Jakarta. (4) Tukang angkut sampah diganti dengan mobil pengangkut sampah yang dapat berfungsi memindahkan sampah secara mekanis dari tempat sampah ke dalam mobil pengangkut sampah. Jadi tidak perlu manusia digunakan untuk memindahkan sampah yang resiko kena kuman penyakit yang begitu besar dihadapi oleh pemindah sampah secara manual dan terkesan pekerjaan ini kurang manusiawi.
Perilaku Hina
Jika diatas sudah dikemukakan bentuk-bentuk pekerjaan hina, namun ada yang lebih hina kelihatan pekerjaannya terhormat tetapi perilakunya tidak terpuji sama sekali. Secara ekstrim kita mengatakan perilaku ini sebenarnya lebih hina dari pekerjaan terhina. (1). Perilaku anggota dewan yang menerima uang suap dari pihak-pihak yang berkepentingan. (2) Disinyalir banyaknya karet-karet kondom-kondom yang ditemukan di gedung DPR pusat adalah ulah oknum anggota DPR pusat yang tidak pulang ke rumah karena habis rapat hingga malam hari. (3) Dosen-dosen pelacur yang jual nilai dengan mahasiswa dan menggarap skripsi, thesis hingga disertasi, (4)Oknum pejabat yang menjadi pengemis minta dibelikan tiket pesawat atau meminta sesuatu kepada pihak-pihak yang berkepentingan., (5) Pengacara yang maju tak gentar membela yang bayar (6)Dokter-dokter yang memasang tarif secara komersial kepada pasien-pasien yang berobat. (7).Oknum Polisi yang meminta biaya kepada pihak pelapor penipuan, kecurian, penodongan dan tindak kriminalitas lainnya. (8) Oknum santri yang menikah dengan anak dibawah umur. (9) Orang tua yang diduga mengeksploitir keahlian anak dibawah umur untuk memperoleh keuntungan yang besar. (10). Oknum-oknum petugas yang tega menyunat uang BLT dan jatah beras Raskin, (11) Caleg beli suara rakyat agar terpilih sebagai anggota legislatif, (12) Oknum pembina mahasiswa yang menyunat uang bea siswa mahasiswa, dan lain-lain.
Ciptakan Pekerjaan dan Perilaku Bermartabat.
Untuk menciptakan pekerjaan yang bermartabat, maka pemerintah dan pemilik modal perlu menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih layak dan mengganti bentuk pekerjaan yang terkesan hina dengan mesin dan alat mekanis. Buukankan dalam dalam salah satu pasal UUD 1945 dikatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan yang layak. (2) Sedangkan untuk menciptakan perilaku yang bermartabat dalam bekerja harus diingat lagi bahwa : (a) Profesi pekerjaan luhur dilakukan untuk mengabdi kepada sesama manusia, jadi kurangi sifat komersial dan pamrih secara berlebihan. Belajarlah ikhlas dalam bekerja. Bukankah dalam melakukan pelayanan telah mendapat imbalan secara proporsional yang sesuai standar kemampuan masyarakat?. Jika belum ada standar maka buat standar tersebut, sehingga kita semua dalam menerima imbalan dapat lebih nyaman dan lebih bermartabat. (b) Pelaku tindak kejahatan harus diberi pembelajaran yang setimpal sesuai sanksi yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan, tanpa ada diskriminasi. (c) Itikad kuat dari pihak keamanan untuk mengurangi kejahatan dan memberantas kejahatan (d) Kembangkan budaya malu (ashame calture) dengan berkomitmen tidak akan menerima dan atau atau mengambil yang bukan hak atau imbalan kita. Dengan demikian semua profesi yang dilakukan akan lebih bermartabat. Insya Allah.

MENGELIMINIR GOLPUT

Pelaksanaan Pemilu sebagai indikasi utama suatu negara melaksanakan Demokrasi. Pada masa orde lama bangsa Indonesia hanya satu kali melaksanakan Pemilu (tahun1955) dengan tingkat partisipasi pemilu sebesar 91%. Setelah itu Indonesia terkesan sebagai negara Otoriter ketimbang negara Demokrasi, karena tidak pernah lagi malaksanakan Pemilu sampai dengan tahun 1965. Pada masa orde Baru bangsa Indonesia mampu melaksanakan pemilu 6 kali (tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997). Data yang menakjubkan penulis peroleh dari buku Dasar Ilmu Politik (Prof. Miriam Budiarjo, edisi revisi 2008) menunjukkan Indonesia pernah meraih tingkat partisipasi pemilu tertinggi di dunia yaitu 95 % (1992) yang menyamai prestasi Uni Soviet pada masa jayanya, urutan kedua adalah Australia (94,69% tahun 2004). Hal ini terjadi karena masyarakat diwajibkan untuk berpartisipasi, urutan ketiga adalah Singapura (94% tahun 2006) , urutan ke empat adalah Jerman (90 % tahun 1992). Partisipasi pemilu yang terendah adalah Polandia (53,4 tahun 1990) dan Amerika Sarikat 53,5 % tahun 2004). Apalah arti dari tingginya angka partisipasi pemilu tahun 1992, karena pemilu yang dilaksanakan pada waktu itu terkesan adanya semacam rekayasa.Masih segar dalam ingatan penulis yaitu pengalaman mengikuti pemilu 1992. Disaat TPS sudah mulai sepi dari pemilih, panitia menyuruh orang yang masih berada di dekat TPS tersebut untuk mencoblos dua kali. Maklum pengawas partai ketika itu hanya ada satu partai dan tidak ada Panwaslu dan pengawas independent ditambah lagi penyelenggara pemilu juga bukan dari pihak independent. Bandingkan Amerika dan Jerman walaupun angka partisipasinya tidak terlalu tinggi, tapi kualitas demokrasi jauh dianggap lebih baik dibanding Indonesia, karena tidak ada rekayasa. Pemilu dilakukan dengan cara-cara elegance tanpa kecurangan. Akibat rekayasa demokrasi yang dibangun pada masa orde baru tersebut dikatakan Gus Dur sebagai demokrasi semu; Pada masa reformasi 1999, angka partispasi pemilu melorot tajam yaitu 57,7% yang memberikan suara dan pemilu 2004 juga hampir sama yaitu kurang dari 60% yang memberi suara. Hal ini terjadi karena pemilu diadakan tergesa-gesa dan adanya perubahan sistem pemilu.
Pemilu yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi juga dihinggapi rasa kekhawatiran akan rendahnya suara yang diberikan secara benar. Ada yang melakukan partisipasi pasif yaitu datang tapi cara mencontrengnya salah atau sengaja disalahkan. Fenomena mencontreng salah karena memang tidak tahu, sedangkan yang mencontreng sengaja disalahkan karena apatis dengan pemilu. Hidayat Nur Wahid telah berani mengemukakan bahwa golput “haram” (masih kontroversi). Namun niat baiknya adalah upaya mengeliminir golput. Menurut Drs.P.Sunarto, SH. MH (ketua LP3 NKRI) mengatakan bahwa sistem contreng ini yang mengetahui secara benar baru 40 % dari para pemilih disebabkan caleg tidak aktif menjelaskan.. Sebenarnya kecilpun angka partisipasi pemilu jika dilakukan dengan prosedur yang benar tidak mempengaruhi kualitas demokrasi. Masyarakat Amerika tidak terlalu bergairah untuk memberi suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi-organisasi seperti organisasi politik, bisnis, profesi, petani dan sebagainya. Namun alangkah lebih baiknya jika lebih banyak berpartisipasi dalam pemilu, supaya keterwakilan aspirasi masyarakat dapat lebih terakomodir dan representatif.
Identifikasi Golput.
Berdasarkan pengalaman di Amerika sarikat kantong-kantong golput lebih banyak berasal dari (1) Masyarakat pendapatan rendah, (2) Pendidikan rendah, (3) Buruh kasar, (4) Pembantu rumah tangga, (5) karyawan dinas-dinas, (6) Pelayan, (7) Petani (8) ras hitam (jika di Indonesia etnis minoritas), (9) Perempuan, (10) Usia dibawah 35 tahun, (11) Bujangan, (12). Orang hidup menyendiri.
Upaya Mengeliminir Golput.
Menjelang Pemilu tinggal beberapa minggu ini pihak-pihak yang terkait dalam sosialisasi pemilu diharapkan melakukan komunikasi lebih intensif sehingga masyarakat benar-benar paham dan menyadari arti suara mereka.
Langkah cepat yang dapat dilakukan adalah:
Pertama : Komisi Pemilihan Umum (KPU), tokoh adat, masyarakat, agama dan pendidik serta caleg melakukan penyuluhan khusus terhadap kelompok-kelompok yang terindikasi golput tentang teknis/cara mencontreng yang benar dengan obyek : (1) Penerima-penerima (Bantuan Langsung Tunai (BLT), (2) Melalui serikat buruh, (3) Mengumpulkan pembantu-pembantu rumah tangga. (4) Organisasi petani, (5) Organisasi perempuan, (6) Organisasi pemuda, (7) partai politik, (8) Mengumpulkan kelompok-kelompok bujangan yang menyendiri, (9) mengumpulkan pelayan-pelayan selanjutnya diberikan penjelasan tentang mencontreng yang benar.
Kedua : Seluruh stasiun televisi selama seminggu melakukan acara tayangan serentak kurang lebih 30 menit sampai dengan satu jam masa durasi untuk menjelaskan bagaimana cara mencontreng untuk calon legislatif (DPR, DPRD) dan calon legislatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan dilakukan demikian maka mau tidak mau masyarakat yang tidak mengerti tadi menonton acara sosialisasi contreng tersebut, karena mereka tidak bisa menukar acara lain lagi. Insya Allah partisipasi pemilu tahun ini dapat mencapai prestasi partisipasi pemilu tahun 1992. dengan tetap mengacu kepada azas langsung, umum, bebas, rahasia dan penuh kejujuran dan adil. Hal ini sesuai dan sejalan dengan harapan pemilu yang telah dicanangkan sejak era reformasi.

DILEMA KOALISI GEMUK

Menjelang pilpres, pilgub bahkan pilbub, peserta pemilu presiden dan pemilukada baik itu balon presiden/gubernur/bupati dan partai kusak kusuk mencari koalisi partai. Balon ketika mendekati masa pendaftaran sebagai kandidat belum juga mendapat tumpangan perahu berusaha, mau tak mau merangkul partai-partai kecil, namun jika belum memadai keterwakilan partai tersebut di legislatif terpaksa harus mencari partai lain yang mau koalisi. Fenomena koalisi ini bukan hanya terjadi pada partai kecil, namun ada juga partai yang sudah memenuhi persyaratan mengajukan calonnya sendiri atau mendukung calon yang bukan kader murninya juga kusak kusuk mencari koalisi. Hal ini terjadi karena kurang percaya dirinya calon terhadap kemampuan untuk menang jika hanya di dukung oleh satu partai bahkan dua partai. Balon dan partai beranggapan bahwa dengan semakin banyak koalisi maka akan semakin besar peluang menang, karena ibarat kuda yang membawa pedati, jika kudanya semakin banyak maka pedati dapat ditarik dengan lebih cepat dan ringan. Dugaan ini ada benarnya, dengan asumsi kuda-kuda harus solid, seirama berlari ketika membawa pedati tersebut. Namun jika ada satu atau dua kuda yang lambat, sebaiknya segera dibuang saja, artinya bukan malah mempercepat pacuan kuda secara kolektif, namun menjadi beban bagi kuda-kuda yang lain. Artinya koalisi sangat ditentukan oleh kekompakan dan kemampuan mesin-mesin partai untuk bergerak seirama untuk menggapai pulau kemenangan. Gejala koalisi gemuk ini muncul di Indonesia pertama kali dipraktekkan oleh Gubernur DKI Jakarta sekarang (baca : Fauzi Bowo). Ketika ia mencalonkan diri, ia didukung oleh hampir 70 persen partai, sedangkan lawannya ketika itu (baca : Adang Dorojatun) hanya didukung oleh partai PKS). Itupun Fauzi Bowo hampir saja dipermalukan dengan koalisi gemuknya, karena Adang Dorojatun hanya kalah tipis dalam perolehan suara. Kembali ketika Pilpres 2009 SBY selaku incumbent dan partainya berhasil sebagai pemenang pemilihan legislatif, malah ikut-ikutan dengan melakukan pola koalisi gemuk.Tanpa koalisi gemukpun ia diprediksikan bakal menang karena posisinya sebagai incumbent dan ekonomi Indonesia ketika kepemimpinannya mulai menggeliat kembali. Apalagi pemungutan suara dilakukan secara langsung, kecuali secara tidak mungkin ada pengaruh koalisi ini. Dalam hal ini pihak koalisi yang memperoleh keuntungan karena setelah kemenangannya mereka rame-rame minta haknya untuk menempatkan wakilnya di kabinet SBY. Soal mereka melaksanakan kewajiban menjalankan mesin partainya sulit untuk dibuktikan, bisa saja mereka mengatakan menjalankan, tapi kenyataan mereka hanya terima bersih kemenangan. Arinya banyak tim kampanye yang hanya menuntut hak ketimbang kewajibannya.
Efek negatif Koalisi Partai.
Memang dengan strategi koalisi partai kecenderungan memperoleh kemenangan lebih besar dengan asumsi mesin partai jalan, namun efek negatif koalisi ini juga dirasakan baik oleh pemenang dan masyarakat.
Efek negatif pertama : cost menjalankan mesin politiknya yang banyak terasa lebih mahal, ketimbang kalau hanya menggunakan satu atau mesin politk.
Efek negatif kedua yang dirasakan adalah : kandidat presiden/ gubernur/bupati tidak leluasa dalam menentukan calon pendamping nya, tetapi ia harus memperhatikan aspirasi dari koalisinya. Akibatnya jika posisi nomor satu ini menang dikhawatirkan mereka tidak seiring sejalan dalam menjalankan pemerintahan, karena mereka berupaya menjalankan misi partainya masing-masing. Akhirnya tujuan utama pemerintahan meningkatkan kesejahteraan, pelayanan dan daya saing negara/daerah tidak tercapai. Efek negatif ketiga : jika koalisi besar menang, penentu utama personil kabinet tidak bisa menggunakan hak prerogatifnya karena sudah ada deal tentang persentase jabatan yang harus diberikan kewenangan untuk ditentukan personilnya oleh pihak partai. Bahkan untuk departemen/dinas apa yang akan ditentukan personilnya mereka sudah paham. Makanya ketika SBY menentukan personil yang akan duduk di kabinetnya, pengumunan yang seharusnya dilaksanakan yang sudah ditetapkan terjadi beberapa penundaan, karena ada yang tidak pas baik dari selera presiden maupun selera partai. Beda ketika Soeharto menentukan kabinetnya, ketika ia mengumumkan kabinetnya, selalu tepat waktunya (tidak berubah-ubah). Efek negatif keempat adalah : Siap-siap masyarakat menerima orang-orang kabinet yang tidak profesional (tidak the right man in the right place). Ada nama yang ditawarkan oleh partai tetapi kualifikasi nya untuk menjabat pos tertentu tidak pas, akibatnya setengah dipaksankan daripada ia ditinggalkan oleh koalisinya.. Efek negatif kelima : dalam perjalanan melaksanakan roda pemerintahan jika terjadi persoalan, anggota legislatif yang termasuk koalisi pemenang/koalisi pemerintah belum tentu sepenuhnya membela pemerintah. Ingat kasus bank century, SBY ditinggal seenaknya oleh koalisinya.
Rekomendasi
Pertama. Dimasa yang akan datang sebaiknya dibuat ketentuan hanya diperbolehkan koalisi dengan partai-partai yang satu ideologi, visi, misi, program dan platform. Jika ada perbedaan maka koalisi tidak dapat diajukan. Kedua : Jumlah koalisi partai tidak bole lebih dari ttiga partai.
Ketiga : Pihak pemenang koalisi harus menandatangani memori of standing untuk tetap berpihak kepada pemerintah, karena ia adalah pilar pertama pendukung pemerintah.
Keempat : Sebaiknya partai pendukung yang telah memenuhi persyaratan minimal mendukung salah satu kandidat, tidak perlu melakukan koalisi dengan catatan kandidat yang dipilih terjamin kualitasnya dan pilih anggota tim sukses yang benar-benar loyak yang direkrut dari keluarga dan kolega selanjutnya gerakkan tim sukses sebaik mungkin.
Kelima : Kandidat yang maju jangan terlalu tergantung dengan partai koalisi, ukur kemampuan diri melalui survey. Jika secara kualitas diri masih dianggap kurang dibanding kandidat lain sebaiknya jangan dipaksakan maju, karena mubazir saja. Lebih baik uang untuk sosialisasi diri an kampanye dialihkan untuk digunakan dalam penciptaan lapangan kerja baru. Ini jelas betul azas manfaatnya (utility) dan berpahala meningkatkan kesejahteraan real kepada masyarakat.

BEIJI, DESA DI TENGAH KOTA

Cara dan gaya kehidupan kota telah memasuki ranah masyarakat desa. Akses dari desa menuju kota makin terasa mudah dan dekat karena ditopang prasarana dan alat transportasi yang semakin baik serta kemajuan teknologi informasi. Cara dan gaya kehidupan masyarakat desa secara tidak sadar dan perlahan menggerus kebiasaan (custom) dan tata krama (folkway) masyarakat desa.
Beiji salah satu desa yang berada di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah adalah cerminan desa di tengah kota. Nuansa desa seperti sepi jauh dari keramaian/hiruk pikuk kota masih terasa, namun kebiasaan berkumpul/ intensitas interaksi diantara masyarakat semakin berkurang karena kesibukan mengejar materi. Mungkin terjadi pergeseran, bahwa keberhasilan seseorang sekarang ditentukan dari “ banyaknya materi yang dihasilkan” bukan dilihat prestasi yang digapai (achievment oriented). Anehnya di desa sekarang ada masyarakat yang tidak saling kenal dalam satu lokasi (locus). Disamping itu tata krama serta ciri masyarakat paternalistik sudah mulai kurang. Bagaimana sikap seorang yang lebih muda jika berpapasan dengan yang lebih tua, sudah tidak ada bedanya, seperti jika ia berpapasan dengan teman sebabyanya saja. Perubahan ini nampaknya dimanfaatkan kelompok terorist Nordin M.Top untuk menjadikan desa Beiji menjadi tempat persembunyian sekaligus melakukan aktivitas perencanaan dan pengorganisasian kegiatan pengemboman. Tempat ini pula menjadi perhatian khusus masyarakat Indonesia dan dunia, karena pada tanggal 7 dan 8 Agustus 2009 yang lalu TV swasta Metro melakukan siaran langsung non stop. TV Metro menayangkan salah satu rumah yang ada di tengah sawah yang dikepung dan oleh Densus 88 dan menyiarkan pula secara langsung kejadian baku tembak , tak ubahnya seperti fillm Combat yang pernah ditayangkan TVRI pada era tahun 80 yang lalu. Ada fenomena sosial menarik yang perlu diungkapkan disini yaitu desa dengan beberapa jargonnya yaitu ketenangan, saling kenal mengenal, kolektif dan terjadi ikatan paguyuban (gemeinschaft) yang sangat kental seolah-olah mulai pupus. Masyarakat sekitar tidak tahu persis siapa tamu/orang yang ada di rumah tengah sawah tersebut, apalagi sampai tahu kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang di tengah sawah. Apakah ini pertanda sifat induvidualistik mulai membudaya? Perlu ditelaah apa penyebabnya dan bagaimana mengatasinya sehingga desa tidak menjadi tempat persembunyian kelompok terorist.
Terjadinya perubahan masyarakat desa ini salah satu penyebab kuatnya adalah akibat budaya materialis yang secara terus dipertontonkan dan dihadapi oleh masyarakat, akibatnya masyarakat menjadi serba komersil untuk dapat eksis dalam kehidupan dan dapat dikatakan sebagai “masyarakat yang berhasil”.
Implikasi Budya Materialis di desa.
Pertama : kemampuan membeli sarana hiburan dan informasi dapat mengakibatkan melemahnya ketaatan terhadap agama. Surau/mesjid di desa mulai sepi karena masyarakat lebih asyik dengan tontonan TV yang menawarkan berbagai opsi stasiun TV. Belum lagi daya tarik sarana hiburan Video games, VCD, internet.
Kedua : masyarakat menjadi komersil. Dalam memperoleh rezeki mereka tidak selektif lagi, apakah rezeki yang diperolehnya dapat menimbulkan masalah. Seperti menyewakan rumah dengan orang asing yang tidak jelas identitasnya.
Ketiga : Lembaga-lembaga desa tidak lagi berfungsi secara optimal. Seperti karang taruna, LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), kecuali PKK masih tetap berkiprah, disiyalir karena keterlibatan ibu-ibu pejabat kelurahan, kecamatan, kabupaten dan sekali-sekali mereka juga mendapat kunjungan dari pengurus PKK tingkat kota dan Propinsi. Pengurus LKMD tidak lagi secara reguler melakukan rapat dengan masyarakat yang berhubungan dengan masalah keamanan yang patut dicurigai atu diwaspadai. Demikian juga dengan pengurus RT, seolah-olah tidak mempersoalkan lagi jika ada warga baru yang mengontrak atau menyewa pemondakan tanpa melapor. Artinya ia bersifat pasif menunggu penghuni baru itu sendiri yang melapor.
Keempat : Masyarkat mulai berfikir rational dan individualis ketimbang kolektif. jika berhadapan dengan masalah-masalah yang bersifat sosial. Misal kegiatan siskamling yang sudah tidak jalan. Jika mereka melakukan siskamling berarti mereka akan mengorbankan pencarian rezeki untuk esoknya, karena malam kurang tidur.
Kelima : Meningkatnya tingkat kriminalitas di desa. Ini juga disinyalir karena siskamling yang tidak jalan lagi.
Keenam : Akibat kriminalitas, maka mengibatkan ketenangan dan keamanan desa terganggu. Pengepungan dan baku tembak di desa Beiji dapat jadi pelajaran yang sangat berarti disini . Mayarakat yang tadinya tenang dikejutkan dengan bunyi ledakan senjata dan bomb, selanjutnya mereka berbondong-bondong menyaksikan dari kejauhan penyerbuan Densus 88 ke lokasi teroris di persawahan.
Memperkuat Kembali Karakter Desa.
Tindakan apapun tidak dapat menghalangi desa menjadi kota karena memang arah perkembangannya, namun keunggulan karakter desa yang dimiliki harus tetap dilestarikan.
Untuk itu kembalikan masyarakat Indonesia mengaktifkan kegiatan : (1) LKMD yang sekarang bernama LPM (Lembaga Pertahanan Masyarakat, (2) Kegiatan Karang Taruna, (3) Siskamling, (4) ABRI masuk desa,
Disamping itu pemerintah harus dapat menahan derasnya perilaku gaya-gaya kehidupan materialis masuk ke desa dengan cara (1) Kesbang Linmas harus aktif melakukan penyuluhan kepada masyaratkat desa akan bahaya kehidupan materialis dan mendukung untuk mengaktifkan kembali pranata kontrol masyarakat yang ada, (2) Acara-acara TV yang permisif terhadap budaya materialis harus dihilangkan seperti : Fear factor yang tidak mempersoalkan haram atau halal cara orang memperoleh nafkah hidup. Demikian juga program baru Take me Out yang ditayang TV Swasta Indosiar, adalah sangat tidak mendidik. Acara ini sama dengan menawarkan diri secara lelang, seharusnya sebagai manusia menjaga nilai diri, bukan secara vulgar orang dapat memberi penilaian harga diri kita. Peserta yang ikut acara tersebut terkesan tidak percaya lagi dengan Tuhan. Bukankah kehidupan, kematian dan jodoh ada ditangan Tuhan tanpa harus menawarkan diri secara murahan di depan umum,

Membuka Kebuntuan KPUD-Bawaslu

Pemilukada Jambi 2010 sudah ditetapkan KPUD Propinsi Jambi pada tanggal 19 Juni 2010, namun penyelesaian persoalan Panwas Pilkada dengan Bawalsu masih belum dapat ditemukan cara terbaik. Jika persoalan Panwaslu ini berlarut-larut (dead lock), maka penyelenggaraan pemilukada pada tanggal 19 Juni nanti bisa saja ditunda. Jika KPUD memaksakan tetap saja melaksanakan Pemilukada dikhawatirkan akan muncul-muncul persoalan yang lebih kompleks lagi setelah penghitungan suara. Persoalan yang dimunculkan dapat saja berasal dari pihak yang tidak legowo dengan kekalahan, melakukan komplain dengan alasan pemilukada cacat hukum karena Panwaslu seharusnya sudah terbentuk satu bulan sebelum tahapan Pemilukada dimulai. Akibat tahapan Pemilu dilaksanakan sebelum adanya Panwaslu, maka tuduhan macam-macampun bermunculan. Ada yang mengatakan KPUD melanggar kode etik, karena telah berani melakukan tahapan Pemilukada tanpa Panwaslu. Protes lain setelah pemungutan suara dilakukan, pihak yang tidak menerima kekalahan tadi mengungkit kembali bahwa pemutakhiran data tanpa Panwas Pilkada.
Latar Belakang Pelanggaran Kode Etik.
Jika meninjau kembali kebelakang kenapa KPUD Jambi berani memulai tahapan Pemilukada ada beberapa sebab :
Pertama : Tidak tahan adanya tekanan dari elemen masyarakat (LSM dan salah satu tim sukses Cagub) melalui demonstrasi langsung ke KPUD. Demonstran menduga bahwa KPUD sengaja memperlambat Pemilukada supaya menguntungkan cagub yang lain. Padahal ketika itu KPUD provinsi belum memulai tahapan Pemilukada karena anggaran pemilu belum deal antara KPUD dengan pemerintahan daerah. Kedua : Adanya pandangan dari kalangan akademisi yang mengatakan bahwa jika tahapan Pemilukada tidak segera dimulai, maka ketika masa jabatan gubernur berakhir ternyata belum ada gubernur terpilih tentu akan terjadi kekosongan jabatan gubernur Jambi. Untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut akan ditunjuk pelaksana tugas (caretaker) oleh Menteri Dalam Negeri. Akibat adanya caretaker, maka pembangunan Jambi untuk sementara akan terjadi stagnan dengan alasan (1) caretaker tidak boleh mengambil kebijakan strategis melakukan penggantian kepala Dinas. Lebih lanjut dari itu dikhawatirkan pula adanya oknum Kepala Dinas akan memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan manipulasi/tindakan korupsi. (2) caretaker tidak boleh mengajukan RAPBD. Dampak larangan ini tentu akan merugikan masyarakat yang perlu segera diambil tindakan cepat dalam rangka akselerasi ataupun substitusi yang dapat dilakukan dalam mensejahterakan masyarakat.
Pada saat anggaran pilkada untuk putaran pertama telah ada kata sepakat antara KPUD dengan Pemda, maka KPUD Propinsi bertekad Pemilukada harus segera dilaksanakan (must go on) walaupun masih ada halangan bahwa Panwaslu yang diusulkan oleh KPUD belum ditetapkan oleh Banwaslu.
Bukan semata kesalahan KPUD.
Di negeri Indonesia ini, memang dikenal baru bagus ditataran peraturan (perundang-undangan), namun dalam implementasinya akan terjadi kesimpang-siuran. Analog dengan kasus Bawaslu. Bawaslu menurut mekanismenya menetapkan tiga orang Panwas Pilkada dari enam orang yang direkomendasikan oleh KPUD Propinsi Jambi. Namun nyatanya tidak ditetapkan, alih-alih Bawaslu secara berani melakukan penetapan kembali Panwas Pilpres sebagai Panwas Pemilukada. Ini jelas-jelas melanggar mekanisme. Bawaslu berkilah dan melakukan justifikasi dengan mengatakan bahwa (1) KPUD terlambat mengajukan rekomendasi nama-nama calon Panwas Pilkada disinyalir karena anggaran pemilukada belum cair, sehingga dengan tindakan tersebut paling tidak Bawaslui telah melakukan efisiensi. Dengan demikian kebuntuan dalam mengatasi biaya recruitmen Panwas Pilkada ditemukan solusinya. (2) Nama-nama yang direkomendasikan oleh KPUD tidak memenuhi persyaratan, terutama persyaratan surat keterangan general chek up (bukan sekedar surat keterangan kesehatan dari dokter Puskesmas). Sebagai informasi terakhir yang diperoleh bahwa KPUD seluruh Indonesia yang dianggap bermasalah sebanyak 46 Panwas Pilkada. Dengan rincian 18 Panwas Pilkada kabupaten/kota dapat melanjutkan tugas (include daerah Panwas Pilkada Jambi), 24 Panwas Pilkada ditinjau ulang, serta 4 Panwas pilkada dilakukan uji kelayakan dan kepatutan oleh Bawsalu. Penolakan KPUD Propinsi Jambi terhadap penetapan Panwas Pilpres yang telah diteruskan menjadi Panwas Pilkada cukup beralasan : (1) Bawaslu melanggar mekanisme, (2) KPUD telah merekomendasi enam calon Panwaslu tingkat propinsi kepada Bawaslu. (3) Nama-nama Panwas Pilkada yang direkomendasi KPUD Jambi dianggap tidak memenuhi syarat general chek up. Padahal sebelumnya sudah ada Surat Edaran Bersama (SEB) bahwa surat keterangan general chek up dapat diganti dengan surat Keterangan Kesehatan dari dokter Puskesmas.
Membuka Kebuntuan.
Pertama. Bawaslu instruksikan kepada KPUD lakukan kembali rekrutmen dengan mengakomodir enam nama yang sudah direkomendasi dan tiga Panwas Pilpres (dengan catatan Panwas Pilpres mendaftar sebagai calon panwas pilkada). Dari sembilan calon tersebut, rekomendasi kembali enam nama ke Bawaslu untuk menetapkan tiga nama Panwas Pilkada Propinsi. Dengan demikiaan Bawaslu terhindar dari pelanggaran mekanisme.
Kedua. Jika keberatan calon Panwas mengurus general chek up karena persoalan biaya yang mahal, maka biaya general chek up tersebut untuk enam orang calon Panwas Pilkada yang telah direkomendasi plus tiga orang Panwas Pilpres yang mendaftar kembali sebagai calon Panwas Pilkada dibebankan kepada pemerintah daerah setempat. Dengan demikian ketentuan general chek up yang disyaratkan dapat dipenuhi.
Ketiga : Jika ada masyarakat komplain mengatakan pemilukada cacat hukum karena pemutakhiran data tanpa Panwas, maka dapat ditunjukkan pengalaman Pileg dan Pilpres di Indonesia sejak reformasi (1999) bahwa Panwas Pilkada terbentuk setelah pemutakhiran data, ada juga setelah pengumuman caleg, capres dan cagub walaupun dalam perundang-undangan dibunyikan bahwa setiap tahapan pemilukada harus diawasi Panwas. Oleh sebab itu dimasa yang akan datang supaya tidak terjadi kekisruhan yang berkepanjangan dalam pemilukada, diharapkan penyelenggara dan pemerintah benar-benar konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Semua pihak yang terlibat dalam pemilukada (include stakeholders) harus beritikad untuk melancarkan pemilukada demi menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat.

PILGUB MEMBUAT JANTUNG BEDEGUB

pada bulan Juni tinggal empat bulan lagi. Semakin dekat pelaksanaan pilgub, maka berkorelasi pula dengan semakin naiknya suhu politik di daerah Jambi, akhirnya bermuara akan naiknya detak jantung (bedegub/nervous) bagi pihak-pihak yang terkait dengan pilgub. Siapa saja pihak yang paling merasakan hal tersebut? Paling tidak ada empat kelompok masyarakat yang terlibat langsung, yaitu penyelenggara (KPUD dan Panwaslu), Peserta (Calon gubernur, calon wakil gubernur, tim kampanye dan tim sukses), pemilih (masyarakat yang telah berhak memilih berdasarkan peraturan perundang-undangan), dan pegawai negeri sipil.
Penyelenggara.
Ada semacam kekhawatiran masyarakat akan kemampuan KPUD yang notabene personalianya mempunyai usia yang relatif sama, sehingga tidak ada satupun diantara peronalia yang mampu bersikap kebapakan (Patronage). Personalia KPUD lebih cenderung menyelesaikan persoalan dengan cara-cara seharusnya (das sein) bukan berdasarkan kenyataannya (dassolen). Ini dibuktikan dua persoalan yang cukup alot terjadi ketika penetapan biaya penyelenggaraan pilgub tahap pertama dan persoalan Penetapan Panwaslu oleh Banwaslu yang tidak mengacu kepada usulan dari KPUD. Ketika belum tuntasnya penetapan anggaran oleh Pemerintah Daerah, alih-alih salah satu LSM di kota Jambi melakukan demonstrasi dengan menduduki sekretariat KPUD. Tahap kedua mudah-mudahan tidak terjadi, karena dapat menimbulkan tambah nervous pihak penyelenggara. Hal ini disebabkan anggaran tahap kedua hingga saat ini belum ditetapkan pemerintah Daerah Jambi (legislatif dan eksekutif). Demikian juga dengan persoalan Penetapan Panwaslu agar dapat diselesaikan dengan cara-cara demokratis, sehingga tidak dianggap cacat hukum. Persoalan Panwaslu ini diharapkan cepat tuntas sehingga tidak berlarut-larut sampai dengan tahap penetapan pemenang. Jika persoalan Panwaslu cacat hukum, dikhawatirkan pihak yang kalah dapat melakukan komplain dan menolak penetapan pemenang karena Panwaslu dianggap cacat hukum. Maklum dinegeri bedebah (kutip istilah Aji Massardi) paling gampang cari kesalahan daripada mengakui kekalahan.
Peserta
Pertama. Calon gubernur yang belum mendapat dukungan partai secara resmi, jelas Harap-Harap Cemas/H2C (baca : bukan rumus kimia). Bagaimana tidak cemas, biaya sosialisasi sudah banyak dikeluarkan, ternyata tidak dapat dukungan perahu politik. Tercatat hingga saat ini ada dua cagub yang belum mendapat dukungan partai politik. Kedua. Cawagub juga H2C, apakah dipilih cagub untuk mendampingi beliau atau tidak. Jika cawagub yang telah bersosialisasi tidak terpilih menjadi pendamping cagub, jelas akan kecewa (dispointed). Jadi cawagub cukup bedegub juga menjelang penetapan pasangan. Ketiga. Tim Kampanye dan tim sukses cukup bedegub menjelang diumumkan hasil penghitungan suara. Kalau kalah harus dapat bertanggung jawab kepada calon gubernur dan kalau menang tinggal menuntut janji kekuasaan dan mungkin pula proyek atau hadiah khusus.
Pemilih.
Pemilih yang berdasarkan akal sehat dan hati nurani, jantungnya tentu akan bedegub juga menunggu hasil perhitungan suara. Mereka akan sangat kecewa jika pasangan cagub/cawagub pilihannya tidak menang. Lain halnya dengan pemilih yang tidak cerdas dan bersifat easy going, ia akan bersifat apatis terhadap siapapun yang akan keluar sebagai pemenang.
Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Sebagian besar PNS yang saat sekarang memegang jabatan tentu merasa galau, sebab gubernur sekarang sudah tidak dapat memperpanjang masa jabatannya lagi karena telah dua periode. Nasib baik mereka masih dapat dapat jabatan dalam kepemimpinan gubernur baru yang terpilih. Tetapi, yang pasti jika mereka tidak sepaham dengan gubernur baru yang terpilih, mereka harus legowo jika jabatannya diganti dengan orang lain. Satu hal yang mungkin dapat membesarkan hati pejabat lama adalah tak ada yang abadi di dunia ini, yang abadi adalah prosesnya. Namun penulis punya keyakinan walaupun dalam regulasi MENPAN dikatakan PNS tidak boleh berpihak, secara diam-diam mereka yang ambisius dengan kekuasaan (baca : jadi pejabat) pasti kusak kusuk menentukan arah dukungan. Apalagi sanksi bagi mereka yang berpihak tidak begitu tegas. Namun bagi PNS yang tidak berpihak, penulis punya keyakinan mereka akan tetap seperti yang dulu. Penyanyi Dian Pisesha dalam syairnya “aku masih seperti yang dulu. Memang ada yang mengatakan jadi pejabat saat sekarang bukan ditentukan oleh prestasi, tetapi lebih banyak ditentukan oleh nasib baik (lucky). Tapi bagi yang tidak percaya dengan faktor lucky tersebut, mereka sudah harus berspekulasi menentukan keberpihakan. Mana ada zaman edan seperti sekarang, pegawai yang tidak berpihak akan mendapat jabatan. Istilah almarhum pelawak Asmuni : suatu hil yang mustahal (baca : suatu hal yang mustahil). Kapan penentuan pejabat secara obyektif akan berlaku kembali di negeri ini? Inilah tantangan paling berat bagi gubernur terpilih nanti dalam menentukan anggota kabinetnya.