Senin, 05 April 2010

HILANGNYA KEBANGGAAN TERHADAP GELAR AKADEMIK

Bangsa Indonesia pada awal reformasi mengalami mengalami krisis multi dimensi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikannnya hingga kini mengalami dekadensi moral dan fenomena ini nampaknya akan cenderung semakin parah jika dibiar berlarut-larut. Ini terjadi dikalangan pendidik dan peserta didik. Malpraktek berawal pada jenjang strata satu, merembet ke strata dua dan strata tiga juga sudah mulai menggejala. Persoalannya bukan karena makin banyaknya orang yang menyandang gelar akademik, tetapi proses penggapaiannya yang mudah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara normatif. Hal ini mengakibatkan sebagian sarjana yang idealis dimana ketika mereka memperoleh gelar tersebut dengan serius dan susah payah belajar (mendalami bidang ilmunya) , merasa memberontak hingga tidak mau lagi memakai gelar tersebut. Penyebabnya adalah belakangan ini banyak sarjana dan yang telah menyelesaikan pendidikan baik strata satu maupun pasca sarjana tidak mampu membuat makalah, proposal dan tidak mampu berbicara secara baik di depan publik. Kelompok yang melalui proses secara benar tersebut tentu saja tidak mau dipersamakan dengan tamatan-tamatan yang memperolehnya dengan mudah dan tanpa perjuangan yang berarti. Ketika masa orde lama dan orde baru kita biasa mendengar berita ada mahasiswa abadi atau mahasiswa paling lama (mapala) menyelesaikan studi sampai 10 tahun lebih dan sedikit sekali yang mampu menyelesaikan studi tepat waktu. Sebagai ilustrasi penagalaman empiris penulis ketika kuliah S1 pada Fisipol Universitas Sebelas Maret Surakarta terdapat 125 jumlah mahasiswa angkatan tahun 1980. Dari jumlah tersebut ternyata yang mampu menyelesaikan studi tepat 4,5 tahun pada tahun 1985 hanya penulis sendiri ( Maaf ini bukan sengaja kultus pribadi). Demikian juga ketika mengambil program Pasca Sarjana di Universitas Andalas Padang, dari 40 orang angkatan penulis hanya bertiga (penulis dan 2 rekan penulis) yang mampu lulus tepat waktu (2 tahun). Ini terjadi pada tahun 1995. Seluruh mahasiswa angkatan penulis waktu itu rata-rata izin belajar dalam arti meninggalkan pekerjaannya secara penuh. Sekarang terjadi hal yang paradok, mereka yang lulus tepat waktu malah lebih banyak dibandingkan yang tidak tepat waktu dan bahkan kita tidak akan menemukan lagi mahasiswa abadi dan mapala ( mahasiswa paling lama) dalam menyelesaikan studinya seperti masa Orla dan ORBA. Fakta yang mencengangkan dan mengagetkan penulis terjadi di Padang Sumatera Barat yang dikenal sebagai industri otak dan merupakan Perguruan Tinggi Swasta tersohor dimasa Orde, baru-baru ini mewisuda 40 Magister Science (M.Si) bukan Magister Management (MM) yang terdiri atas pejabat-pejabat dengan durasi pendidikan rata-rata dua tahun. Mereka tanpa meninggalkan pekerjaan sama sekali. Betul-betul fantastis dan manusia superman pejabat tersebut. Ketika diwisuda koran-koran lokal (Sumbar) dipenuhi ucapan selamat, maklum pejabat yang diwisuda. Penulis mencoba membayangkan bagaimana sipejabat yang mahasiswa dengan penuh kesibukan tugasnya mampu membagi waktu dengan baik. Sepengetahuan penulis kuliah strata dua biasanya banyak tugas-tugas membuat makalah, summary, diskusi kelas. Kecenderungan baru terjadi pula di Universitas Negeri terkemuka di Bandung, mereka menyelenggarakan program Doktor kelas unggulan. Namanya kelas unggulan, tapi kuliah hanya sabtu dan minggu, bahkan mahasiswanya lebih banyak berkeliaran di tempat kerjanya ketimbang mengikuti perkuliahan. Penulis analogikan ibarat kemasan bagus, isi diragukan. Ibarat kita membeli parcel dari luar kelihatan bagus, tapi kita tidak tahu persis isi di dalamnya apakah masih bagus atau sudah kadaluarsa. Pakar pendidikan Universitas Negeri Padang yaitu Prof. Dr.H. Jasrial, M.Pd mengatakan bahwa sekarang terjadi obral gelar bukan hanya pada level Sarjana, tetapi juga Pasca Sarjana (S2 dan S3).
Kembalikan Mutu.
Untuk meningkatkan citra pendidikan kita yang kian terpuruk ini, maka Menteri Pendidikan dan Menteri Penertiban Aparatur Negara perlu melakukan pembenahan sesegera mungkin, sehingga gelar kesarjanaan masih dapat kita katagorikan sebagai kelompok elite, dus ada kebanggaan lagi bagi yang menyandangnya.. Kebijakan yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut.
Pertama, Kopertis dan Dirjen Pendidikan Tinggi perlu membuat program melakukan sidak tanpa pemberitahuan (on the spot) ke seluruh perguruan tinggi. Selanjutnya menindak tegas perguruan tinggi yang ketahuan melakukan penyimpangan.
Kedua. Lakukan shock therapy dengan mengumumkan kepada masyarakat bahwa lembaga pendidikan yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku, maka kelulusan tersebut tidak diakui negara. Umumkan secara luas perguruan tinggi yang terbukti melakukan penyimpangan tersebut.
Ketiga. Lakukan pengurangan jumlah perguruan tinggi, karena perguruan tinggi yang terlalu banyak ini disinyalir mengakibatkan masyarakat banyak opsi sehingga bisa menyandang gelar. Tidak mampu di perguruan yang strich, ia cari yang grade lebih mudah dan seterusnya.
Keempat. Perguruan tinggi kembali memperketat sistim seleksi, artinya bagi yang tidak mempunyai kemampuan intelektual jangan lagi diterima. Jangan ada lagi terjadi di Indonesia bahwa orang idiot menyandang gelar sarjana.
Kelima. Penerimaan mahasiswa dengan mengantisipasi kebutuhan lapangan kerja secara real, artinya penerimaan mahasiswa benar-benar rasional dan tidak menciptakan penganguran potensial.
Keenam. Lakukan uji sertifikasi kesarjanaan bagi alumni, jika perguruan tingginya disinyalir mengobral kelulusan.
Ketujuh. Kembalikan pembinaan pegawai melalui karier dan prestasi kerja. Kalau tidak UU no 8 tahun 1974 perlu diamandemen. Dengan demikian pegawai tidak perlu kuliah berbondong-bondong ke Perguruan Tinggi. Adakan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan kerja. Jadi tidak ada lagi ketentuan untuk jabatan kepala kantor harus berpendidikan Strata dua keatas. Akibat pegawai dibolehkan kuliah inilah disenyalir merusak sistim belajar mangajar di kampus.
Kedelapan. Penerimaan pegawai level sarjana keatas perlu seleksi yang ketat. Misalnya diuji lagi kemampuan mereka membuat proposal, makalah dan kemampuan berbicara/presentasi di depan publik/audience.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar