Minggu, 11 April 2010

CULTURE TRUST DI PERGURUAN TINGGI

Perguruan Tinggi sebagai lembaga ilmiah seharusnya selalu mengedepankan keilmiahan, obyektifitas dan kejujuran yang tinggi baik dalam bersikap dan berbuat/bertindak. Perguruan tinggi bukan hanya menciptakan orang-orang cerdas, tetapi seharusnya juga bermoral. Jika aspek kejujuran diabaikan, berarti Perguruan Tinggi hanya menjalankan kewajiban mengajar, lepas kewajibannya untuk mendidik. Apabila pengelola dan dosennya banyak berdiplomasi/berbohong imbasnya akan menciptakan generasi-generasi pembohong pula. Mungkin ini pula salah satu penyebab mengapa sarjana-sarjana sekarang bermental “Korup”.
Pengelola, apalagi Dosen seharusnya betul-betul diseleksi secara ketat, bukan hanya mempunyai memiliki IQ (intelligence Question) dan Emotion Question (EQ), tetapi juga Spritual Quation (SQ). Jika Spritual Question diabaikan, maka penjahat dan orang-orang pembohongpun bisa mengajar di Perguruan Tinggi asal dia cerdas dan punya motivasi yang tinggi.
Tokoh reformasi (Prof. Dr. H. Amien Rais) membuat justifikasi kenapa ia melaporkan kepada Komisi Pembarantas Korupsi (KPK) bahwa ia dan calon-calon Presiden lainnya pada Pemilu 2004 menerima dana DKP dari Rokhmin Dahuri. Jawaban beliau : selaku orang akademis salah masih ditolerir, bohong yang tidak dibolehkan. Perguruan Tinggi jangan lagi menawarkan janji-janji palsu. Kalau dalam iklan dikatakan ruang kuliah menggunakan AC, menggunakan LCD atau janji-janji lainya, harus benar-benar diwujudkan. Jangan hanya hanya beberapa ruangan saja ber-AC dan hanya beberapa satu dua dosen saja yang bisa menggunakan fasilitas LCD. Demikian juga dalam hal kualitas akademis yang ditawarkan. Jika yang ditawarkan adalah bermutu, maka tunjukkanlah kualitas/mutu tersebut. Apakah dosen-dosennya disiplin mempunyai Satuan Acara Perkuliahan (SAP), menggunakan referensi yang actual, mengajar sesuai waktunya. Tidak LIFO (Late In First Out), atau Cuma sekali-sekali mengajar ke kampus. Juga fasilitas prakteknya apakah benar-benar tersedia dan masih layak digunakan (terkaliberasi). Hal ini perlu dijaga agar mahasiswa tidak merasa terjebak/terperangkap dengan PT yang borang (bohongi orang) tersebut.

Standar jaminanan Mutu (Quality Asurance).
Sebenarnya pengakuan lembaga eksternal “Independent” terhadap jaminan mutu lembaga Perguruan Tinggi saat sekarang telah ada yaitu Badan Akredi-tasi Nasional (BAN-PT), namun hasil penilaiaan akreditasi (A, B, C) masih menimbulkan kontroversi. Seharusnya D jadi C. C jadi B, B jadi A. Atau terjadi sebaliknya seharusnya A jadi B dan seterusnya. Ini pula mungkin mengakibatkan mengapa orang mulai skeptis dengan akreditasi BAN-PT tersebut. Kedepan kecenderungannya Dikti akan lebih percaya dengan rekomendasi Auditor Mutu Internal Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi sekarang dapat melakukan audit mutu akademik Intertenal, dengan mengundang auditor yang bersertifikat untuk mengaudit mutu akademik internal perguruan Tingginya, baru selanjutnya Perguruan Tinggi mengajukan penilaian Akreditasi ke BAN–PT. Perguruan dapat komplain jika berdasarkan penilaian auditor AMAI memperkirakan dapat nilai A, tetapi dapat B. Sebenarnya criteria nilai Akreditasi A dan B dan C tersebut Perguruan Tinggi sudah dapat memprediksikannya. Standar nilai A, B dan C dapat Perguruan Tinggi identifikasi melalui evaluasi diri dengan criteria sebagai berikut : Pertama. Jika Perguruan Tinggi memenuhi ke delapan Standar Nasional Pendidikan, maka peringkat akreditasi bagi perguruan Tinggi tersebut adalah Cukup (Nilai C). Kedelapan standart tersebut menurut Pasal 2 ayt 1 PP No. 19 Tahun 2005 yakni : (1) Standar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan dan (8) Standar Penilaian Pendidikan.
Jika hasil evaluasi diri nilai prediksi adalah D atau C jangan pula melakukan negosiasi atau persuasi dengan Penilai BAN-PT untuk memperoleh nilai C atau B. Budaya ini tidak cocok dengan culture trust, dust pembohongan terhadap public. Yang perlu dilakukan adalah peningkatan mutu berkelanjutan (Bencmarking). Bagaimana upaya jika evaluasi diri dilakukan sekarang nilainya C, dimasa yang akan kita memperoleh nilai B kalau perlu lakukan akselerasi sehingga dapat nilai A.
Kedua. Peringkat B (Nilai B), apabila Perguruan Tinggi telah memenuhi kedelapan Standar Nasional Pendidikan (SNP), dan mampu mencapai standar rata-rata Perguruan Tinggi secara Nasional.
Ketiga. Peringkat Sangat Baik (Nilai A), apabila Perguruan Tinggi telah memenuhi kedelapan standar dalam SNP, dan mampu mencapai standar diatas rata-rata Perguruan Tinggi secara Nasional, atau mencapai standar Internasional. Untuk Perguruan Tinggi di daerah kito (Propinsi Jambi) tidak satupun program studi yang memperoleh Nilai Akreditasi A. Jadi wajar, jika putera-putera terbaik daerah Jambi banyak melanjutkan ke Perguruan Tinggi ke luar daerah Jambi maupun ke luar negeri. Akibat ini, berapa devisa daerah kita yang lari ke daerah lain. Untuk itu Pemerintah Daerah Jambi perlu memotivasi Perguruan Tinggi yang ada di daerah Jambi untuk meningkatkan kualitas, sehingga mendapat pengakuan Akreditasi A. Dengan demikian gengsi dan kebanggaan daerah Jambi akan semakin meningkat.
Perguruan Tinggi di daerah Jambi sebaiknya mulailah membiasakan culture trust, dengan melaksanakan Standar Nasional Pendidikan seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005. Bahkan Dirjen pendidikan Tinggi telah mengultimatum bahwa hingga tahun 2012 Perguruan Tinggi (melalui Program studinya) tidak menerapkan Quality Asurance, maka izin Program tersebut akan dicabut. Begitu betul komitmen pemerintah untuk membangkitkan kembali semangat culture trust di Perguruan Tinggi. Dengan penerapan SNP, Perguruan Tinggi yang berbohong akan ketahuan, karena Auditor Audit Mutu Akademik Internal (AMAI) akan memberikan penilaian KTS (Ketidak Sesuaian) berat atau ringan bagi perguruan yang tidak dapat menunjukkan dokumen-dokumen Manajemen Mutu, Manual Prosedur, Instruksi Kerja, Data Pendukung dan Borang/formulir.
Perlu diingat bagi Perguruan Tinggi di Jambi bahwa waktu lima tahun tidaklah terlalu lama, jika Perguruan Tingginya ingin tetap eksis. Oleh sebab itu segeralah penuhi standar mutu, lengkapi dengan dokumen-doukemen, sehingga jika Auditor AMAI melakukan audit, Perguruan Tinggi yang diaudit tidak dicap sebagai Perguruan Tinggi yang berbohong alias KTS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar