Melalui media opini ini penulis ingin sharing idea kepada rekan-rekan yang akan melaksanakan Dialog Publik tentang Quo Vadis Sekolah Bertaraf Internasional yang akan diselenggarakan Sabtu 12 April 2008 di Graha Pena Jambi Ekspres. Berdasarkan latar belakang penyelenggaraan seminar adalah untuk menyikapi agenda Dinas Pendidikan Propinsi dan Kota Jambi, dengan melakukan penunjukan sekolah tertentu dan pengiriman guru untuk mengikuti pelatihan di Selandia Baru. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap penganggaran dana tersebut pada APBD Propinsi Jambi, padahal masih banyak lagi program lain yang perlu diperjuangkan diperioritaskan dilihat dari urgensinya, misalnya pemerataan pendidikan untuk daerah-daerah marginal, penyediaan fasilitas-fasilitas pendidikan berstandar mutu, pemberian bantuan gizi kepada anak-anak sekolah sehingga siswa betul-betul concern belajar dan mampu belajar dalam waktu yang lebih lama alias tidak ngantukkan. Coba sekali-sekali penentu kebijakan sekolah pergi ke daerah-daerah marginal di pelosok-pelosok desa masih ditemukan ada sekolah yang berpenampilan ala kadarnya dengan keterbatasan guru dan fasilitas yang ada. Bukankah dalam Pasal 31 UUD 1945 dikemukakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak? Bukankah sekolah favorite lebih sedikit ketimbang sekolah tidak favorite? Disamping itu manfaatnya masih dipertanyakan ditinjau dari efisiensi dimana masih banyak warga negara ini yang tidak mendapat pendidikan yang layak? Jika sekolah internasional dianggap begitu mendesak, tidakkah menimbulkan kesejangan yang semakin terjal yang diciptakan antara sekolah favorite dengan tidak favorite? Disamping itu perlu pula dipersoakan tentang keberlanjutan program ini.
Tidak Gampang Bertaraf Internasional
Untuk menyelenggarakan sekolah bertaraf internasional tidak cukup kita mempersiapkan fasilitas bertaraf internasional (misal performance sekolah), mengirim guru-guru ke tingkat ke luar negeri. Apakah dengan mengirim guru ke luar negeri dapat merubah perilaku guru menjadi bertaraf internasio nal. Sebelum dikirim tentunya diseleksi tentang bagaimana pandangan guru tersebut terhadap tantangan globalisasi. Jangan setelah pendidikan diluar negeri kembali ke Indonesia, mentalitasnya kembali ke mentalitas ke daerahan (primordial). Perlu juga diperhitungkan biaya magang ke luar negeri. Jangan seperti katak dalam tempurung, siswa di kelas diwajibkan menggunakan bahasa internasional, tetapi siswa sendiri tidak pernah merasakan nuansa luar negeri. Misal bagaimana menggunakan paspor, apa itu paspor pendidikan, bagaimana naik pesawat bertaraf internasional, bukan seperti air asia dan kawan-kawan sekelas hanya orang-orang berasal dari Indonesia (syukur-syukur dari seluruh Indonesia, takutnya hanya berasal dari Jambi tokh). Idealnya siswa berasal dari berbagai bangsa yang ada di dunia, sehingga nuansa internasional benar-benar dirasakan.
Mempertanyakan Manfaat Sekolah Internasional.
Jika benar sekolah internasional ini telah diagendakan dan telah mulai actionnya, ada semacam kekhawatiran penulis terhadap azas manfaat bagi daerah Jambi : (1) Apakah ada keberlanjutan terhadap penggunaan siswa bersangkutan untuk pembangunan daerah Jambi? (2) Apakah ia akan dipekerjakan sebagai PNS ? Misal di dinas Pariwisata atau Dinas-Dinas yang bersentuhan dengan kegiatan luar negeri? Jika sekolah Internasional ini diarahkan kepada dua point diatas, penulis setuju. Tetapi kalau tidak ada kesinambungannya seperti SMA titian teras, maka penulis tidak sependapat pengadaan sekolah inteternasional. Satu lagi ketakutan penulis adalah penyelenggara hanya mampu menyelenggarakan kelas berbahasa internasional, bukan kelas yang bernuansa internasional).
Lebih Baik Prepare Perguruan Tinggi Internasional.
Kita perlu melihat cara-cara yang dilakukan pemerintahan Malaysia dalam mempromosikan daerahnya yaitu dengan memperbanyak perguruan tinggi dengan standar kelas internasional (baca: bukan hanya bahasa Internasional). Inilah mengakibatkan negara ini menjadi negara ASIA yang tearcatat 68 perguruan tingginya berstandar internasional dus dapat diaplikasi di tingkat Internasional. Ranking teratas ditingakat ASIA adalalah Philipina (tercatat 139 Perguruan Tinggi), India (107 Perguruan Tinggi). Jangan kita berpandangan picik seperti Menteri Kesehatan (Dr. Siti Fadilah) yang mengecam Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta yang menerima 30 % mahasiswa kedokteran berasal dari luar negeri. Ia berpandangan nasionalis, dikatakannya seharusnya program fakultas kedokteran yang mendapat subsidi pemerintah tersebut harus diprioritaskan untuk orang Indonesial. Akibat bangsa ini masih berwawasan nasional, maka tidak satupun Perguruan Tinggi di Indonesia yang masuk dalam daftar perguruan teraplikasi di tingkat Internasional menurut versi Foreign Universities in MOM’s List For Employe Application. Baru-baru ini Pejabat Promosi Pendidiakan Kedutaan Besar Malaysia (Darsham Daud), ketika Pameran Promosi Pendidikan Higher Education Exebition 2008 di Novotel Jambi dan Hotel Bumi Minang Padang mengatakan Pemerintah Malaysia saat ini gencar mempromosikan pendidikan di negaranya kepada pelajar dan calon mahasiswa internasional khususnya dari Indonesia. Katanya kami ingin menjadi pusat kecemerlangan pendidikan di tingkat Asia. Saat ini lebih 67.000 pelajar dan mahasiswa dari 150 negara belajar baik negeri maupun swasta di Malaysia. Sebanyak 13.000 diantaranya adalah pelajar dan mahasiswa asal Indonesia. Dari berbagai berbagai program studi yang ditawarkan, program studi bisnis menempati posisi yang paling banyak diminati, setelah itu disusul dengan teknologi informasi dan Desain Grafis. Menurut Dharsam Daud lebih lanjut, saat ini tidak kurang 4.500 orang Malaysia yang belajar di Indonesia, kebanyakan mendalami ilmu kedokteran, farmasi dan kedokteran gigi. Pertanyaannya sekarang mengapa Indonesia tidak masuk dalam List for Employee Aplication? Disinyalir sedikitnya keragaman bangsa yang kuliah di kelas bahasa internasional dan mungkin juga karena hilang kredibilitas bangsa ini yang lebih dikenal sebagai bangsa yang banyak melakukan korupsi. Di beberapa perguruan Tinggi ternama di Indonesia hanya secara partial melaksanakan kelas berbahasa Inggris (belum kelas internasional sebenarnya), seperti Prgogram studi Akuntansi Universitas Andalas Padang, salah satu program studi di Universitas Bina Nusantara dan Univeristas Pelita Harapan. Program kelas internasional ini memang diperlukan, tapi jangan jadi prioritas selagi pemerataan pendidikan belum dapat diaplikasikan.
Senin, 12 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus