Minggu, 11 April 2010

CARUT MARUT JALUR PENDIDIKAN DI INDONESIA

Dasar Hukum Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia semula diatur oleh UU Nomor 2 tahun 1990, kemudian diganti dengan UU No 20 Tahun 2003. Dalam operasionalnya diterbitkan pula Peraturan Pemerintah yang mengatur khusus tentang Pendidikan Tinggi yaitu PP Nomor 60 Tahun 1999 dan lebih dimantapkan lagi dengan PP. No 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Semuanya tegas-tegas mengatakan bahwa jalur pendidikan Tinggi di Indonesia dibagi dua, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesional. Pendidikan akademik merupakan pendidikan yang diarahkan terutama untuk penguasaan ilmu pengetahuan. Jalur pendidikan akademik dimulai dari Sekolah Menengah Umum (SMU), Strata I (S1) , Strata II (S2), Strata III (S3). Pendidikan professional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu. Pendidikan professional dimulai dari sekolah kejuruan, Diploma (I, II, III, IV), jika masih ingin melanjutkan dapat diteruskan ke Spesialis I dan II.
Namun kenyataaannya banyak perguruan Tinggi yang mengabaikan aturan-aturan yang telah susah payah dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan telah disyahkan legislative. Apakah karena tidak ada pengawasan Depdiknas dan Legislatif?. Seharusnya Depdikanas mengontrol penyimpangan yang dilakukan perguruan Tinggi, dan Legislatif mengontrol pula pengurusan yang telah dilakukan Depdikans.
Mari sama-sama kita simak fakta berikut : 1) Ditemukan adanya tamatan SMK, STM yang melanjutkan perkuliahannya ke jalur akademis, seharusnya mereka mengambil jalur pendidikan professional yaitu Akademi atau politeknik. Tamat akademi atau politeknik dapat pula melanjutkan ke Strata I, seharusnya tamat
--------------------
Penulis adalah Dosen PNSD Kopertis Wilayah X, Alumnus S.I Fisipol UNS Surakarta dan S2 Universitas Andalas Padang.
DIII melanjutkan ke jenjang Diploma IV dan tamatan Diploma IV melanjutkan ke Spesialis Satu bukan Strata Satu. 2) Di jalur professional terjadi pula penyimpangan yaitu tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) melanjutkan ke akademi dan politeknik. Seharusnya mereka harus melanjutkan ke Strata satu dan seterusnya. Di tingkat yang lebih tinggi terjadi lagi Deviasi. Tamatan pendidikan (S1) melanjutkan ke professional. Misal tamatan S1 mengambil program Magister Management, seharusnnya Magister Science. Lebih parah lagi jurusan yang tidak ada sama sekali basic Management dapat pula melanjutkan ke program Magister Management, seperti Sarjana Hukum, Sarjana Sosial. Sehingga bercampur aduklah gelar professional dan Akademik, ada gelar (SH. MM), (dr. MM), (SE, MM), (Spd.MM), (S.Ag.MM), (Ir. MM). (S.Ip, MM), (Drs. MM), (Sarjana Sastra, MM) dan berbagai macam keanehan gelar dan sebutan lainnya. Kalau benar-benar konsisten, seharusnya tamatan Strata 1 jika dia melanjutkan gelar lanjutannya Magister Science. Itulah kenyataannya.
Belum lagi ada perguruan Tinggi yang menerima tamatan Lembaga Pendidikan Keterampilan ke jalur professional dan akademik.

Bagaimana pula dengan Tenaga Pengajar?
Di lembaga pendidikan professional, seharusnya yang mengajar adalah tamatan Diploma IV (Sarjana Science Terapan/SST), Sarjana Spesialis Satu dan Sarjana Spesialis dua. Tetapi dalam kenyataannya karena professional lebih banyak berkecimpung dalam kegiatan wiraswasta/entrepreneur, maka untuk mengisi kebutuhan ini dipaksa tamatan jalur akademik mengajar di jalur professional. Jadi tidak heran kalau di jenjang D1, D2, D3 dan D. IV yang mengajar adalah tamatan jalur akademik yaitu Strata 1 dan Magister Science (M.Si/M.Sc). Sehingga muatan praktek dan teori yang seharusnya 60 % berbanding 40 % bisa jadi terbalik yaitu 40 % berbanding 60 %, bahkan adapula yang hanya memberikan teori kering. Karena di jalur akademik memang dituntut untuk menguasai pengetahuan bukan praktek.

Penataan Ulang Jalur Pendidikan Di Indonesia.
Sebenarnya perangkat hukum untuk pembenahan jalur pendidikan di Indonesia sudah ada, tinggal pada tingkat implementasinya yang harus konsisten dan tegas. Jangan lagi membiarkan Perguruan Tinggi dimaafkan (permissive) menerima mahasiswa yang berasal bukan dari jalur yang sama. Demikian juga dengan Perguruan Tinggi jangan lagi menerima mahasiswa yang bukan jalurnya. Memang dilematis disatu sisi Perguruan Tinggi ingin mendapatkan jumlah mahasiswa sebanyak mungkin dalam rangka mempertahankan keberlanjutan Perguruan Tingginya, disisi lain Perguruan Tinggi dihadapkan kepada penyimpangan peraturan. Kalau kita kaji-kaji lebih jauh, yang salah adalah Pemerintah yang terlalu gampang memberikan izin pendirian Perguruan Tinggi atau pembukaan program baru tanpa meliat kelayakan secara fisik dan administrasi apakah Perguruan Tinggi tersebut memang layak keberadaannya atau tidak. Akibat lebih lanjut Perguruan Tinggi menjamur di seluruh pelosok Indonesia, maka bukan mahasiswa yang mencari Perguruan Tinggi, tetapi Perguruan Tinggi yang mencari mahasiswa. Konsekuensinya yang kita hadapi tentu saja terjadi carut marut jalur pendidikan di Indonesia dan pada akhirnya kualitas tamatan tentu saja dipertanyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar