Pelaksanaan Pemilu sebagai indikasi utama suatu negara melaksanakan Demokrasi. Pada masa orde lama bangsa Indonesia hanya satu kali melaksanakan Pemilu (tahun1955) dengan tingkat partisipasi pemilu sebesar 91%. Setelah itu Indonesia terkesan sebagai negara Otoriter ketimbang negara Demokrasi, karena tidak pernah lagi malaksanakan Pemilu sampai dengan tahun 1965. Pada masa orde Baru bangsa Indonesia mampu melaksanakan pemilu 6 kali (tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997). Data yang menakjubkan penulis peroleh dari buku Dasar Ilmu Politik (Prof. Miriam Budiarjo, edisi revisi 2008) menunjukkan Indonesia pernah meraih tingkat partisipasi pemilu tertinggi di dunia yaitu 95 % (1992) yang menyamai prestasi Uni Soviet pada masa jayanya, urutan kedua adalah Australia (94,69% tahun 2004). Hal ini terjadi karena masyarakat diwajibkan untuk berpartisipasi, urutan ketiga adalah Singapura (94% tahun 2006) , urutan ke empat adalah Jerman (90 % tahun 1992). Partisipasi pemilu yang terendah adalah Polandia (53,4 tahun 1990) dan Amerika Sarikat 53,5 % tahun 2004). Apalah arti dari tingginya angka partisipasi pemilu tahun 1992, karena pemilu yang dilaksanakan pada waktu itu terkesan adanya semacam rekayasa.Masih segar dalam ingatan penulis yaitu pengalaman mengikuti pemilu 1992. Disaat TPS sudah mulai sepi dari pemilih, panitia menyuruh orang yang masih berada di dekat TPS tersebut untuk mencoblos dua kali. Maklum pengawas partai ketika itu hanya ada satu partai dan tidak ada Panwaslu dan pengawas independent ditambah lagi penyelenggara pemilu juga bukan dari pihak independent. Bandingkan Amerika dan Jerman walaupun angka partisipasinya tidak terlalu tinggi, tapi kualitas demokrasi jauh dianggap lebih baik dibanding Indonesia, karena tidak ada rekayasa. Pemilu dilakukan dengan cara-cara elegance tanpa kecurangan. Akibat rekayasa demokrasi yang dibangun pada masa orde baru tersebut dikatakan Gus Dur sebagai demokrasi semu; Pada masa reformasi 1999, angka partispasi pemilu melorot tajam yaitu 57,7% yang memberikan suara dan pemilu 2004 juga hampir sama yaitu kurang dari 60% yang memberi suara. Hal ini terjadi karena pemilu diadakan tergesa-gesa dan adanya perubahan sistem pemilu.
Pemilu yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi juga dihinggapi rasa kekhawatiran akan rendahnya suara yang diberikan secara benar. Ada yang melakukan partisipasi pasif yaitu datang tapi cara mencontrengnya salah atau sengaja disalahkan. Fenomena mencontreng salah karena memang tidak tahu, sedangkan yang mencontreng sengaja disalahkan karena apatis dengan pemilu. Hidayat Nur Wahid telah berani mengemukakan bahwa golput “haram” (masih kontroversi). Namun niat baiknya adalah upaya mengeliminir golput. Menurut Drs.P.Sunarto, SH. MH (ketua LP3 NKRI) mengatakan bahwa sistem contreng ini yang mengetahui secara benar baru 40 % dari para pemilih disebabkan caleg tidak aktif menjelaskan.. Sebenarnya kecilpun angka partisipasi pemilu jika dilakukan dengan prosedur yang benar tidak mempengaruhi kualitas demokrasi. Masyarakat Amerika tidak terlalu bergairah untuk memberi suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi-organisasi seperti organisasi politik, bisnis, profesi, petani dan sebagainya. Namun alangkah lebih baiknya jika lebih banyak berpartisipasi dalam pemilu, supaya keterwakilan aspirasi masyarakat dapat lebih terakomodir dan representatif.
Identifikasi Golput.
Berdasarkan pengalaman di Amerika sarikat kantong-kantong golput lebih banyak berasal dari (1) Masyarakat pendapatan rendah, (2) Pendidikan rendah, (3) Buruh kasar, (4) Pembantu rumah tangga, (5) karyawan dinas-dinas, (6) Pelayan, (7) Petani (8) ras hitam (jika di Indonesia etnis minoritas), (9) Perempuan, (10) Usia dibawah 35 tahun, (11) Bujangan, (12). Orang hidup menyendiri.
Upaya Mengeliminir Golput.
Menjelang Pemilu tinggal beberapa minggu ini pihak-pihak yang terkait dalam sosialisasi pemilu diharapkan melakukan komunikasi lebih intensif sehingga masyarakat benar-benar paham dan menyadari arti suara mereka.
Langkah cepat yang dapat dilakukan adalah:
Pertama : Komisi Pemilihan Umum (KPU), tokoh adat, masyarakat, agama dan pendidik serta caleg melakukan penyuluhan khusus terhadap kelompok-kelompok yang terindikasi golput tentang teknis/cara mencontreng yang benar dengan obyek : (1) Penerima-penerima (Bantuan Langsung Tunai (BLT), (2) Melalui serikat buruh, (3) Mengumpulkan pembantu-pembantu rumah tangga. (4) Organisasi petani, (5) Organisasi perempuan, (6) Organisasi pemuda, (7) partai politik, (8) Mengumpulkan kelompok-kelompok bujangan yang menyendiri, (9) mengumpulkan pelayan-pelayan selanjutnya diberikan penjelasan tentang mencontreng yang benar.
Kedua : Seluruh stasiun televisi selama seminggu melakukan acara tayangan serentak kurang lebih 30 menit sampai dengan satu jam masa durasi untuk menjelaskan bagaimana cara mencontreng untuk calon legislatif (DPR, DPRD) dan calon legislatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan dilakukan demikian maka mau tidak mau masyarakat yang tidak mengerti tadi menonton acara sosialisasi contreng tersebut, karena mereka tidak bisa menukar acara lain lagi. Insya Allah partisipasi pemilu tahun ini dapat mencapai prestasi partisipasi pemilu tahun 1992. dengan tetap mengacu kepada azas langsung, umum, bebas, rahasia dan penuh kejujuran dan adil. Hal ini sesuai dan sejalan dengan harapan pemilu yang telah dicanangkan sejak era reformasi.
Selasa, 13 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saya sgt stj dg usul canangn siarn dslurh stasiun TV khusus u politk krn akn m+ wa2sn masyrkt agr tdk golput.
BalasHapuspenanyangan durasi 30 menit sangat bagus dilaksanakan untuk mensosialisasikan bagaiman cara menconntreng yang benar.
BalasHapustetapi saat ini saya melihat masyarakat indonesia tidak terlalu bodo bodo amat untuk mencontreng kandidat yang mereka dukung, yang jadi masalahnya pak bagaimana peran KPU dalam mengobati hati masyarakat yang terlanjur terluka akibat ulah kandidat yang mereka dukung. mugkin itu salah satu akibat menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan.