Selasa, 13 April 2010

AKSESORIS POLITIK

Cara yang paling sederhana mengetahui sistem politik yang diterapkan oleh suatu negara apakah otokratis tradisional, totaliter/otoriter atau demokrasi adalah diidentifikasi dari keteraturan pelaksanaan pemilu secara periodik. Jika tidak melaksanakan pemilu ada dua kemungkinan. Jika pergantian pimpinan secara turun temurun adalah sistem otokratik tradisional. Namun kalau hanya ada satu partai penentu maka dikatakan negara totaliter, kecuali Arab Saudi walaupun tidak punya partai fungsi artikulasi dan agregasi politik masih dapat berjalan dengan baik. Lain halnya dengan negara demokrasi, dapat diketahui dari keteraturan melaksanakan pemilu. Identifikasi secara secara sederhana ini dengan mengabaikan apakah sistem demokrasi itu berkualitas atau tidak? Misalnya ketika masa Orde baru bangsa Indonesia berhasil melaksanakan pemilu relatif teratur yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997. Namun terkesan rekayasa, karena hasil pemilu sudah dapat diketahui dengan persentase kemenangan yang tidak meleset sedikitpun dibandingkan hasil pemilu. Ini terjadi karena partai-partai pemilu telah dikendalikan secara sistemik oleh pemerintah yang berkuasa. Oleh Gusdur dikatakan demokrasi semu. Sedangkan oleh Firmansyah Ph.D dalam bukuknya Mengelola Partai Politik (2008), dikatakatan dengan istilah “Aksesoris Demokrasi”, karena partai dan masyarakat telah dapat dikendalikan sedemikian serupa, sehingga memilih sesuai dengan keinginan pemintah yang sedang berkuasa (incumbent). Dengan adanya ancaman masyarakat memilih tidak berdasar hati nurani dan rationalitas, ditambah pula faktor kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Orde Baru.
Jika pada Orde Baru kita menemukan istilah aksesoris demokratis karena partai-partai hanya sebagai alat kelengkapan demkrasi dan dikendalikan pemerintah, maka pada era reformasi tidak terjadi lagi demikian. Namun kita menemukan terminologi “aksesoris partai dan kandidat capres/wapres”. Istilah dicipatakan karena banyak partai (include oknum capres/cawapres) yang tidak menjalankan idealismenya lagi. Ideiologi, struktur partai, visi, misi, kebijakan umum (platform), jargon, program kerja hanya merupakan hiasan yang bisa dilihat keindahannya serta enak kedengarannya, sehingga bagi pemilih dan konstituen yang kurang jeli beranggapan bahwa partai dan capres/wapres yang bersangkutan benar-benar profesional , dus memperhatikan kepentingan rakyat. Kenapa ini terjadi? Jawabannya tidak lain godaan materliasme dan kekuasaan. Penguasaan materi membuat mereka merasa lebih disegani dan dihormati. Padahal dalam teroi motivasi Maslow dikatakan penghormatan yang hakiki diperoleh jika dilakukan dengan penuh kejujuran. Melaui kekuasaan orang beranggapan bahwa ia secara legal dapat mempengaruhi orang lain. Hal ini membuat mereka lupa bahwa partai adalah wadah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. Apalah artinya berpolitik kalau tidak ada idealisme memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Para politisi menempatkan kekuasaan sebagai tujuan utama dalam berpolitik pencapaian cita-cita politik sesuai dengan idiologi politik yang diyakini.
Aksesoris Partai dan Capres/Wapres.
Pertama : Idiologi hanya merupakan identitas partai politik yang membantu pemilih dalam menentukan keberpihakan mereka. Seharausnya idiologi benar-benar menjadi dasar yang kuat dalam membuat visi, misi, tujuan, strategi, struktur organisasi partai. platform dan program-program partai dan kandidat Presiden dan wakil Presiden.
Kedua : Visi dan misi mencerminkan idiologi. Misal dalam visi dikatakatan salah satu partai adalah penguatan demokratisasi. Visi ini menginginkan situasi yang menjamin kesempatan sama bagi semua pihak untuk mendapatkan akses ke sumber daya yang terbatas. Dengan demikian diharapakan bahwa interaksi yang muncul memiliki rona bebas dan cair. Masyarakat bisa mengkritik pemerintah, perusahaan dan kelas-kelas elite politik. Tapi kenapa kebebasan “Prita Mulya Sari” mengekspresi kekesalan terhadap rumah sakit OMNI Internasional berbuah penahanan? Bagaimana kontrol dan action partai dalam hal ini? Apakah hanya cukup mengunjungi Prita Mulya Sari? Apa sanksi yang diberikan kepada jaksa penuntut, maupun hakim yang memutuskan kasus tersebut tanapa hati nurani?
Ketiga : Struktur kepartaian tidak mencerminkan devisionalisasi. Tidak nampak keterkaitan antara struktur organisasi partai politik dengan idiologi tercermin dalam cara mengelompokkan tugas dan pekerjaan. Selain itu, tugas dan pekerjaan yang ada dalam struktur tersebut juga mencerminkan idiologi partai politik yang bersangkutan.
Keempat: Platform partai harus dibuat mencerminkan panduan umum dan garis besar arah kebijakan partai dalam kontribusinya terhadap permasalahan bangsa dan negara. Apakah persoalan ancaman kedaulatan bangsa dan negara bukan dianggap permasalahan serius bangsa dan negara? Hal ini beberapa partai tidak begitu serius yang mengangkat issue ini dalam platform partai maupun program capres dan wapres 2009. Bahkan jatuhnya pesawat TNI terakhir pada tanggal 9 Juni 2009 diingatkan oleh oknuim pimpinan partai yang berempati dengan mengunjungi ke rumah duka, mengatakan bahwa persoalan ini jangan dipolitisir. Penulis setuju jangan dipolitisir, tapi lebih lanjut ejawantahkan dalam program kerja.
Kelima : Jargon yang dipilih tidak mencerminkan actionnya dalam berkampanye. Kandidat dan tim pemenangan Capres/wapres yang terperangkap kepada blck campaign ketimbang negatif campaign. Dengan kata lain lebih banyak meneyerang kepada hal-hal yang bersifat pribadi ketimbang kelemahan program kerja kandidat.
Keenam : Program kerja yang tidak benar-benar diupayakan maksimal dalam pelaksanaan. Jangan kita terjebak hanya dengan program kerja yang bagus, tanpa melihat aspek realistis program tersebut. Jika lima tahun yang akan datang tidak terealisasi maka diplomasi yang sudah dapat kita tebak adalah dalam pelaksanaan kami tidak dapat melaksanakannya karena ada beberapa kendala. Oleh sebab itu kami minta maaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar