Siswa SMA baru saja melaksanakan uji coba (try out) dalam rangka persiapan menghadapi Ujian Nasional. Hasilnya banyak nilai siswa yang dibawah standar, walaupun sebelum try out siswa telah mengikuti macam-macam les. Menurut Dr. Ramlan Surbakti (1998), sebagai salah satu ciri Negara Sedang Berkembang adalah tidak tetap, mencari bentuk dan tidak tentu. Tujuan utamanya sudah tentu bermuara kepada peningkatan kualitas. Namun ditengah perjalanannya sering kita jumpai kualitas yang diharapkan tidak tergapai dan hanya utopia. Akibatnya dicoba lagi cari baru yang diiming-imingi akan lebih baik dari pola (patrone) sebelumnya. Begitulah seterusnya proses yang dialami seolah ada dinamika, kenyataannya tidak jua berujung sesuai harapan. Berikut ini penulis akan menunjukkan kebijakan Pendidikan Tinggi dan kebijakan Politik yang terus melakukan trial and error.
Pendidikan Tinggi.
Sudah sangat paham masyarakat Indonesia, apabila ganti menteri Pendidikan maka ganti pula kebijakan. Era 1970 Di Perguruan Tinggi dahulu ada Dema (Dewan Mahasiswa) sebagai wadah mahasiswa melakukan ekspresi dalam melakukan kontrol sosial, akibatnya stabilitas pemerintah jadi terusik. Ketika Daoed Yoseof menjadi menteri, ada konsep NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) akibatnya Dewan Mahasiswa dibubarkan. Dampaknya jelas berpengaruh terhadap rendahnya kepedulian mahasiswa terhadap masalah eksternal kampus. Selanjutnya Daoed Yusuf diganti dengan Fuad Hasan, menteri yang pandai main biola dan hoby berkuda. Pada masa beliau kurikulum dirobah dengan mencantumkan muatan humaniora. Maka muncullah mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di seluruh program studi baik ilmu sosial dan ilmu eksakta. Akibatnya dosen Ilmu Budaya Dasar kewalahan harus mengajar di berbagai program studi. Ketika Daoed Yoesoef dan Fuad Hasan menjadi menteri, kelulusan mahasiswa di Perguruan Tinggi Swasta boleh dikatakan tidaklah mudah, karena harus mengikuti Ujian Negara. Ketika Malik Fajar menjadi Menteri Pendidikan mulai ditiadakan ujian negara bagi mahasiswa PTS, dengan kata lain diberi kebebasan kepada Perguruan Tinggi untuk menentukan kelulusan masahasiswa di Perguruan Tinggi. Akibatnya boleh dikatakan di Perguruan Tinggi Swasta yang tidak favorite kelulusan mahasiswa menjadi sangat mudah. Ini dilakukan untuk memperoleh mahasiswa yang berorientasi “status symbol” bukan achievment oriented. Karena banyaknya kritikan masyarakat belakangan diwajibkan kepada perguruan Tinggi untuk membuat Evaluasi Program Studi Berdasarkan Evaluasi Diri (ESBED) yang prosesnya dimulai semenjak semester ganjil 2002/2003. Esbed ini juga mempunyai kelemahan, karena datanya masih dapat dimanipulasi oleh operator komputer yang piawai. Akibatnya kualitas lulusan Perguruan Tinggi bukan tambah baik, tapi menjadi semakin terpuruk. Buktinya tidak satu Perguruan Tinggi Indonesia massuk dalam peringkat 200 dunia dan tidak satupun perguruan Tinggi Indonesia dicantumkan dalam daftar Perguruan Tinggi yang teraplikasi di tingkat dunia.
Bidang Politik.
Masa bung Karno, awal kemerdekaan kita menerapkan UUD 1945, di tahun 1950 kita menerapkan UUD Sementara 1950, tahun tanggal 5 Juli 1959 kita kembali ke UUD1945. Pada masa Soeharto Pemilu 1971 diikuti oleh 10 Partai, Pemilu 1977 berhasil menyederhanakan (fusi) partai menjadi dua partai dan satu golongan tiga karya. Pemilihan anggota legislatif pada masa Soeharto adalah Sistem Perwakilan Berimbang (Proporsional) dengan daftar calon berdasarkan nomor urut. Pemilihan Presiden dan kepala-kepala daerah dilakukan secara tidak langsung. Sistem Pemilu dan Pemilihan Presiden dan Kepala-Kepala Daerah masih melanjutkan sebagaimana pendahulunya. Pada masa Megawati (Pemilu 2004) Pemilihan anggota legislatif dilakukan Sistem Perwakilkan Berimbang (Proporsional) dengan daftar calon terbuka dan Pemilihan anggata DPD dengan sistem Distrik berwakil banyak. Ketika implementasi penghitungan suara untuk calon anggota legislatif, ternyata hanya ada dua orang yang memenuhi jumlah standar minimal pemilih untuk penentuan kursi legislatif, maka diputuskan untuk kembali menerapkan sistem daftar calon terbuka. Ketika masa Presiden Megawati pula dimulai pemilihan Presiden dilakukan dengan cara langsung, diikuti dengan pemilihan Kepala-Kepala Daerah di deseign pula dengan cara langsung. Alasan waktu itu kalau pemilihan Presiden dan Kepala-Kepala daerah dilakukan secara tidak langsung akan terjadi money politic antara calon dengan legislatif. Setelah pemilihan langsung apa yang terjadi? Giliran partai yang memperoleh keuntungan, karena setiap kandidat yang maju harus mendapat dukungan partai politik. Mereka yang punya potensi jadi pemimpin , tetapi kurang amunisi (baca: uang) tidak mendapat perhatian dari dukungan tidak memperhatikan kriteria-kriteria bagaimana pemimpin yang baik, tetapi lebih memperhatikan bagaimana bisa membesarkan partainya. Akibat ini masyarakat cenderung mulai mengabaikan partai yang mendukung kandidat.Yang menjadi tolok ukur pemilih adalah figur yang tidak bermasalah dimasa silam, jujur dan amanah. Perubahan perilaku ini telah mulai kelihatan dimana kandidat incumbent (statusquo) yang didukung oleh partai-partai besar mulai tidak dilirik. Arinya kepercayaan masyarakat kepada incumbent dan orang-orang lama yang telah lama berkiprah dibidang politik mulai luntur. Akibat ini pemerintah telah mengeluarkan pula UU yang membolehkan calon perseorangan maju dalam Pilkada. Kecenderungan belakangan ini masyarakat mulai coba-coba melirik public figure dari kalangan muda selebritis. Telah dua orang yang berhasil yaitu Rano Karno (sebagai wakil Bupati Tangerang) dan Dede Yusuf (sebagai wakil Gubernur Jawa Barat). Mudah-mudahan coba-coba masyarakat ini sesuai dengan harapan? Allahu alam bisawab. Terlalu dini untuk di jawab.
Minggu, 11 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar