Senin, 05 April 2010

SOEHARTO AHLI STRATEGI

Membicarakan tentang mantan Presiden ke dua Indonesia yaitu Jenderal H.M. Soeharto, tidak pernah akan pernah habis-habisnya (ending) baik sisi positifnya, maupun sisi negatifnya. Mulai kiprahnya ketika menumpas G.30.S/ PKI hingga ucapannya yang masih jadi perdebatan hingga sekarang yaitu ”Mikul dhuwur mendem jero”. Yang jelas ia adalah presiden Indonesia yang pernah dipuji oleh dunia Internasional, dan disebut sebagai suatu keajaiban (miracle) Indonesia karena masuk sebagai satu di antara lima Macan Asia yang teridiri dari atas RRC, Korea Selatan, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Prestasi ini ini ditorehnya pada dekade 1980 sampai awal 1990-an yaitu dalam bidang ekonomi ditandainya dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Soeharto tidak pernah mengikuti pendidikan ilmu politik, tetapi dia benar-benar ahli siasat (siyasyah istilah politik dalam bahasa Arab). Bahkan pada tahun 1980 ketika penulis mengikuti pendidikan Strata satu pada fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta, dosen penulis pernah mengagumi kepiawaian strategi-strategi yang dibuat beliau. Mari kita uraikan keberhasilan strategi beliau yang begitu melekat dalam benak penulis.
Pertama. Pada tahun 1966 ia berhasil memimpin penumpasan G.30 S/PKI, dengan menindak lanjuti dengan pembubaran Partai Komunis Indonesia tanggal 12 Maret 1966 satu hari setelah ia memperoleh mandat menggantikan Soekarno melaluli Surat Perintah Sebelas Maret (Surat Perintah Sebelas Maret). Supersemar ini hingga sekarang masih menimbulkan kontroversi, bahkan ahli telematika Indonesia baru-baru ini masih mempersoalkan keaslian dari Supersemar yang beredar.
Kedua beliau berhasil menyatukan empat angkatan (Darat, Laut, Udara dan Kepolisiaan) yang terpecah-pecah pada masa Orde Lama menjadi Angakatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang benar-benar padu (integrated). Selanjutnya untuk menciptakan stabilitas politik, beliau memplintir konsep Dwifungsi ABRI dengan menempatkan perwira-perwira ABRI di dalam struktur pemerintahan langsung. Militer menjadi kunci hampir di semua jabatan pemerintah, baik di lembaga eksekutif, legislatif dan lembaga-lembaga lainnya. Harold Crouch menggantikan istilah dwifungsi ABRI ini dengan istilah ”Dwifungsi Struktural”.
Ketiga. UUD 1945 dijadikan kitab suci yang tidak boleh dirubah dan karena konstitusi tersebut cukup integralistik maka keadaan menjadi tirani dengan dalih untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan mengharamkan perubahan UUD 1945, maka peluang beliau menjadi Presiden lebih dari dua periode akan terbuka. Inilah awal otoriter. Apabila seseorang telah memimpin terlalu lama, maka ia akan cenderung menjadi otoriter (Arifin Rahman, 1998).
Keempat : Pada masa pemerintahan Soekarno hanya sekali melakasanakan pemilu (1955) sebagai indikator utama pelaksanaan Demokrasi. Masa pemerintahan berhasil melaksanakan enam kali pemilu (tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997). Terkesan Demokrasi dilaksanakan tetapi semu (istirlah Gus Dur), karena penuh rekayasa dalam pelaksanaannya. Fakta menunjukkan pelaksana, pengawas pemilu yang tidak indepenpen.
Kelima, menyederhanakan jumlah kepartaian di Indonesia.. Pada pemilu pertama masa orde baru (1977) berhasil menyederhanakan jumlah partai 28 menjadi 10 partai. Dan pada Pemilu 1977 kembali melakukan penyederhanaan dengan tehnik penggabungan partai (fusi). Sehingga mulai tahun 1977 hanya ada tiga partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Golkar).
Keenam, Strategi Litsus (Penelitian Khusus). Litsus semula digunakan oleh Ditjen Sospol untuk mendeteksi apakah seseorang terkait dengan partai terlarang (PKI), menjadi berkembang untuk meneliti apakah calon-calon pejabat eksekutif dan legislatif yang akan menduduki jabatan struktural strategis maupun parlemen (DPRD pusat, DPRD tingkat I dan DPRD tingakat II) terindikasi vokal atau loyal terhadap penguasa atau tidak.
Inilah strategi beliau mempertahan sistem pemilihan presiden yang dilakukan secara tidak langsung. Dengan demikian beliau dapat dengan mudah mempertahankan statusquonya.
Ketujuh. Strategi Pemerintahan yang Sentralilistis. Pilihan pemerintahan sentralistis agar kekuasaannya dapat efektif dan tetap dipatuhi dan akan menciptakakan stabilitas yang mantap, juga membuat daerah-daerah dapat dikuasai. Dengan demikian pelaksaanaan kebijakan pemerintahan daerah orde baru yang sentralistis tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk memenangkan Golongan Karya, yaitu dengan sendirinya akan menjaga kelangusngan pemerintahan orde baru, sehingga tidak berlebihan bila setiap Gubernur, Bupati, Walikota, camat dan bahkan Kades adalah pembina Golkar di daerah. Ketua Korpri di daerah yang juga adalah Sekda merupakan Ketua jalur Birokrasi (jalur B). Sedangkan Pangdam, Kodam, Koramil, Babinsa, Pimpinan Polri juga dengan sendirinya adalah jaur A (ABRI) di deaerah. Dengan demikian tidak perlu ada keraguan bahwa UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang sentralistis merupakan salah satu strategi orde baru di daerah.
Pemerintahan ORBA memang pernah mengadakan Otonomi Pertcontohan yang dilaksanakan pada satu daerah kabupaten/kota pada masing-masing propinsi. Program tersebut gagal total, karena semangat ORBA bukan mengadakan otonomi daerah, tetapi strategi yang matang agar ada alasan kuat untuk tetap menerapkan sentralisasi kekuasaan atas pemerintahan daerah. Kegagalan otonomi percontohanan ala ORBA tersebut disinyalir karena pemerintah pusat hanyame mberikan kewenangan yang sebesar-besarnya tetapi tidak memberikan uang, alat dan aparat. Istilah ini yang berkembang saat itu adalah ”Kepala dilepas tetapi ekor ditahan”
Kedelapan : Mendem jero, Mikul Dhuwur. Soeharto nampaknya sudah mengantisipasi bahwa akan kesalahan dimasa yang akan datang dapat menjadi polemik dan buah bibir. Dalam bukunya : Soeharto, perkataan dan Perbuatannya mengajarkan kepada kita semua untuk menghormati orang dituakan, lalu mengangkat seluruh jasa-jasanya untuk dicontoh dan membenamkan dalam-dalam apa yang keliru diperbuat oleh tokoh tersebut supaya tidak terulang lagi disebut ”Mikul Dhuwur Mendem Jero”. Ini merupakan petuah yang ditinggalkan oleh budaya Jawa. Makanya tidak heran mengapa Amin Rais yang berasal dari Solo (Jawa Tengah) dahulu sangat bersemangat untuk mengadili Soeharto yang dituangkan dalam TAP MPR No XI/ Tahun 1998, tiba-tiba meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memaafkan pak Harto. Penulis jadi teringat lagi dengan lagu Oma Irama yang dalam sebuah baitnya dibunyikan ”Kau yang mulai, Kau yang Mengakhiri”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar