Selasa, 13 April 2010

FENOMENA BUDAYA INTIMIDASI DI JAMBI

Budaya ancam mengancam (intimidasi) yang sering kita temukan pada orde baru, kembali marak terjadi di era reformasi. Masih segar dalam ingatan kita ketika Orde Baru, jika masyarakat tidak akan memilih Golkar ancaman adalah jalan tidak di aspal, urusan-urusan pelayanan administrasi di desa/kelurahan di persulit. Jika PNS akan dimutasikan ke daerah marginal, tidak naik pangkat. Fenomena ini juga terjadi ketika talk show antara Anas Urbaningrum (ketua Fraksi Demokrat di DPR) dengan panelis yang mensinyalir ada aliran dana bank century ke Partai Demokrat. Dijawab oleh Anas Urbaningrum, hati-hati memfitnah, kami bisa menuntut. Rupanya intimidasi ini tidak hanya sebatas ucapan, buktinya LSM Bendera sekarang harus berurusan dengan pihak yang berwajib untuk mempertanggung jawab kan ucapannya itu. Lain lagi di di Propinsi Jambi, setidaknya ada dua ancaman yang mengemuka yang diucapkan oleh balon Gubernur (Abdulah Hioch) dan ketua KPUD (Yaser Arafat). Ancaman Abudllah Hich adalah “akan menarik berkas pendaftarannya dalam bursa calon gubernur yang akan diusung oleh Partai Amanah Nasional (PAN) jika PAN buka pendaftaran ulang Calon Gubernur (Cagub) 2010. Sedangkan Ketua KPUD Propinsi Jambi dalam ancamannya mengemukakan bahwa ia tidak akan memulai tahapan Pilgub di Propinsi Jambi, jika anggaran yang telah dirasionalisasikan KPUD tidak dipenuhi Pemprov. Jambi.
Kasus Abdullah Hich.
Abdullah Hich adalah kader murni PAN melakukan ancaman karena adanya ketidakpastian ia akan diusung oleh PAN atau tidak. Ia telah lama melakukan pendafaran sebagai calon gubernur yang akan diusung oleh PAN bersama dengan dua orang calon lainnya. Bertiga mereka melakukan sosialisasi secara terpisah dan selanjutnya menunggu keputusan verifikasi. Ketika seharusnya memasuki tahap verifikasi, panitia seleksi mengatakan akan melakukan pendaftaran ulang, mengingat ketika calon yang mendaftar belum membayar uang survey. Tentu hal ini memalukan ketiga calon, seolah mereka tidak punya amunisi. Yang lebih memalukan lagi sebenarnya partai yang dianggap tidak punya dana cadangan sehingga Devisi Litbang baru melakukan survey jika dana disiapkan oleh para kandidat yang akan diusung. Abdullah Hich merasa telah berbuat untuk PAN, apalagi ia telah berjasa menempatkan separuh lebih anggota legislatif di Tanjab Timur dan tiga orang anggota DPRD Propinsi Jambi berasal dari PAN Tanjab Timur. Dengan kata lain ia merasa punya nilai tawar, yang akan dilirik oleh Partai lain, apalagi ia berada pada posisi seolah dizalimi. Bukankah masyarakat Indonesia mudah berempati terhadap orang yang dizalimi? Seperti yang terjadi ketika masyakarakat berempati dengan SBY tahun 2004, waktu itu SBY dizalimi oleh Mantan Presiden Megawati Soekarno Puteri. Akhirnya kepopuleran SBY mencuat yang bermuara dengan kemenangannya di Pilpres 2004.
Kasus KPUD Propinsi Jambi.
Lain lagi kasus di KPUD Propinsi Jambi, KPUD merasa telah mengikuti keinginan pihak DPRD agar dilakukan rasionalisasi rencana anggaran. Semula pengajuan anggaran sebesar Rp. 74 milyar tahap pertama, dirasionalisasikan menjadi 51,9 milyar. Oleh DPRD ketika itu diputuskan Rp. 35 milyar untuk putaran pertama. Pihak KPUD mengeluarkan ancaman tidak akan memulai tahapan pilgub jika dana pengajuan yang telah dirasionalisasi tidak dipenuhi. Wakil Ketua DPRD waktu itu balas mengancam, kalau tidak tidak bersedia dengan dana yang telah disediakan tersebut mundur saja dari KPUD Propinsi Jambi. Seiring dengan perjalanan waktu, dilantik pula anggota legislatif baru hasil pemilu 2009. Persoalan ini dibuka kembali dengan mediator DPRD baru. Singkat cerita pihak KPUD tetap memplot Rp. 51,9 milyar dan pihak eksekutif melakukan rasionalisasi lagi dengan memplot Rp. 46,4 milyar. Pihak KPUD tetap ngotot Rp. 51,9 Milyar, bahkan mengancam tetap tidak akan memulai tahapan pilkada jika pengajuan dana pilgub yang telah dirasionalisasi KPUD tidak dipenuhi Pemprov. Jambi.
Solusi Pengendalian Konflik Sosial.
Pakar sistem sosial (Prof. Dr. Nasikun) pernah kemukakan solusi pengendalian konflik sosial (include ancam mengancam) dapat diselesaikan dengan cara mediasi. Mediator dapat memberikan nasehat-nasehat, tetapi tidak bersifat mengikat. Oleh karena itu Mediasi ini hanya dapat dilakukan apabila memenuhi prasyarat (conditio sine quanon).
Prasyarat pertama : Lembaga yang ditunjuk sebagai mediataor harus : (1) merupakan lembaga yang bersifat otonom dalam mengambil keputusan, (2) Kedudukan lembaga-lembaga tersebut di dalam masyarakat yang bersangkutan harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga-lembaga itulah yang berfungsi demikian. (3). Peranan lembaga-lembaga tersebut haruslah sedemikian rupa, sehingga berbagai kelompok kepentingan yang berlawanan satu sama lain itu merasa terikat kepada lembaga-lembaga tersebut, sementara keputusan-keputusannya mengikat kelompok-kelompok tersebut beserta dengan para anggotanya. (4) Lembaga tersebut harus bersifat demokratis yakni setiap pihak harus didengarkan dan diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat-pendapatnya sebelum keputusan-keputusan tertentu diambil.
Prasyarat kedua : Kelompok yang sedang bertentangan itu sendiri mampu memenuhi tiga macam prasyarat berikut : (1) Masing-masing kelompok harus menyadari akan adanya situasi konflik diantara mereka, karena itu mnyeadari pula perlunya dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak. (2) Kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisir secara jelas. (3) Setiap kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu, suatu hal yang akan memungkinkan hubungan-hubungan sosial diantara mereka menemukan suatu pola tertentu. Aturan-aturan permainan tersebut, pada gilirannya justru menjamin kelangsungan hidup kelompok-kelompok itu sendiri. Oleh karena itu ketidakadilan akan dapat dihindarkan, memungkin tiap kelompok dapat meramalkan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh kelompok yang lain, serta menghindarkan munculnya pihak ketiga yang akan merugikan kepentingan mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar