Senin, 05 April 2010

LELUCON UJIAN NASIONAL

Ujian Nasional untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) meninggal banyak lelucon, menggelitik sehingga membuat orang tersenyum dan bahkan mencemeehkan pelakasanaannya. Bagaimana tidak disatu sisi mengharapkan pengawasan dilakukan secara ketat, tetapi jika dilaksanakan secara ketat ditegor pula oleh pengawas diatasnya, bukankah diatas pengawas ada langit, artinya pengawasan Ujian Nasional dilakukan secara berlapis-lapis. Sayangnya ketika pengarahan antara lapisan atas dengan lapisan bawah tidak terintegrasi sehingga menimbulkan distorsi, akibatnya multi praktek dilakukan oleh para pengawas maupun oknum pemantau atau bagian keamanan yang over acting. Belum lagi persoalan gengsi daerah dan mempertahankan jabatan dapat mempengaruhi instruksi bagaimana menciptakan kelulusan sebanyak mungkin. Berikut ini dapat dikemukakan beberapa keanehan yang kita anggap sebagai lelucon alias sandiwara pendidikan.
Pertama : Ada cerita rekan saya seorang kepala sekolah di salah satu kabupaten mengatakan bahwa ia diancam akan mengalami demosi (penurunan jabatan) dari jabatan kepala sekolah menjadi guru jika sang kepala sekolah tidak dapat mencapai target 90 % kelulusan. Keluhan teman saya bukan karena dia harus kerja keras untuk meningkatkan frekuensi les, tetapi memang kualitas sumber daya manusianya sudah mentok. Maklum rekan penulis tersebut menjadi kepala sekolah disalah satu sekolah marginal yang serba kekurangan baik fasilitas, tenaga guru bahkan sumber input (siswa yang IQ nya dibawah rata-rata).
Kedua : Seorang turis yang kebetulan bersama penulis merasa kaget melihat bagian keamanan dengan menggunakan senjata laras panjang mengiringi pembawa soal ujian dan Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) dari percetakan menuju Kantor Dinas Pendidikan. Ia -mengatakan : What is the object control ? I said material examination for student. He replay again : I think a bom or granat? Penulis jadi tersenyum simpul dibuatnya. Pekerjaan yang seharusnya dilakukan dengan kepercayaan tinggi (culture trust), malah sangat dicurigai.
Ketiga : Ketika Ujian siswa disuruh mengumpulkan Hand Phone (telephone mobile). Dasar siswa licik dan kreatif ia membawa HP lebih dari satu. Ketika satunya HPnya dikumpulkan, ia masih punya cadangan dan dibukanya ketika ia pergi ke Water Closet (WC). Pengawas yang garang mengikuti siswa yang pergi ke WC. Ketika dekat WC kedengaran suara khas HP yang baru dihidupkan. Tak pelak lagi begitu siswa keluar WC, HP keduanya pun diamankan oleh pengawas.
Keempat : Ketika pelaksanaan Ujian Nasional baik tingkat SMA maupun SMP musim hujan di kota Jambi sedang musim hujan. Jadi suasana agak mendung dan gelap. Di sekolah marginal ditemukan beberapa ruang sangat gelap, karena di ruang ada kabelnya tetapi tidak ada lampunya, bahkan ada pula ruang yang tidak kabel dan lampunya. Penulis berfikir, apa saja yang dilakukan oleh Kepala sekolah dan pengawas di Diknas selama ini? Apakah kelayakan ruang tidak pernah menjadi perhatian mereka?
Kelima : Standar Pembagian Uang transpor yang tidak jelas. Koordinator pemantau yang keliling memantau 9 sampai 10 sekolah mendapat honor jauh lebih kecil ketimbang seorang pemantau yang hanya memantau satu sekolah dengan jarak 25-50 km dari kota Jambi. Padahal koordinator meninjau juga beberapa lokasi sekolah yang berjarak 25-50 km. Bahkan dalam lingkup wilayah pantauannya terdapat satu atau lebih sekolah yang berjarak 25-50 km.
Keenam : Pemantau yang berasal dari oknum Perguruan tinggi obral nilai malah mengawasi guru-guru yang lugu dan jujur. Seharusnya mereka yang dipantau, bukan mereka yang memantau. Tetapi biarlah Tuhan yang memantau para pemantau dan lapisan atas lainnya.
Ketujuh : Guru membantu siswa mengisi jawaban dengan cara memberi tahukan jawaban yang benar, mungkin sudah ada kerja sama antara kepala sekolah dengan para pengawas yang kebetulan bidang ilmunya sama dengan mata uji yang diawasinya. Bahkan ada pula menambahkan jawaban siswa jika jawaban siswa banyak yang kosong.
Kedelapan : Adanya mata rantai pengawasan yang terputus. Pengawasan yang super ketat dilakukan tidak ada keberlanjutannya (suistnable), karena siswa yang tidak lulus Ujian Nasional akhirnya dapat lulus juga dengan cara ikut Ujian Paket B Untuk SMP dan paket C untuk SMA.
Kesembilan : Kasus Pemantau (TPI) yang ditegor staf inspektorat Jenderal Pendidikan dari Jakarta gara-gara si pemantau berkeliling memantau dari luar ruang tempat pelaksanaan ujian. Si pemantau dimintanya duduk manis saja tidak usah keliling. Bagaimana si pemantau tahu tentang apa saja yang dilakukan pengawas di dalam kelas. Bisa saja antara pengawas dan siswa melakukan kerjasama yang kooperatif.
Kesepuluh : Kasian pengawas yang serius mengawas dari pagi hingga siang mendapat reward yang jauh lebih kecil proporsinya dibanding pemantau dan lapisan diatasnya. Padahal resiko yang dihadapi adalah sama.
Kesebelas : Trick sekolah melegalkan nyontek dengan sesama siswa yaitu dengan cara menempukkan kursi dipinggir ruangan ujian agar siswa dapat duduk lebih rapat. Padahal dalam pengaturan standar penyusun meja dan kursi yang akan digunakan untuk ujian sudah ada standar bakunya.
Kedua belas : Ketika ujian listening (Bahasa Inggris) siswa tidak menggunakan hard board dan di ruang audio visual. Tetapi hanya menggunakn type yang tersentralisir. Akibatnya suara type bisa saja bias dan tidak sesuai dengan pendengaran yang sebenarnya. Seharusnya standar listening siswa dimasukkan dalam ruang praktek yang kedap suara dan menggunakan hard board serta dibantu pula dengan audio visual, sehingga siswa dapat mendengar dengan jelas secara pendengaran maupun dari bahasa tubuh (gesture) si pembicara serta dapat melihat gerakan mulut si pembicara. Jika memang fasilitas hard board dan audio visual ini masih terlalu mahal untuk dapat disiapkan di sekolah, dimasa yang akan datang sebaiknya materi tentang listening ini dihilangkan saja.
Ketiga belas : Menurut cerita siswa yang mengikuti ujian di sekolah X, diantara guru-guru yang membantu siswa mengisi jawaban, terjadi perbedaan antara jawaban yang diberikan guru A dengan jawaban yang diberikan oleh guru B, sehingga siswa jadi bingung sendiri.
Kempat belas : Adapula kasus siswa yang punya kerja iseng. Di WC disebarkan kunci jawaban hasil rekayasanya sendiri. Bagi siswa yang tidak punya pendirian maka sudah dipastikan ia akan terperangkap dengan pedoman yang menyesatkan.
Mudah-mudahan lelucon yang diungkapkan diatas tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang dan diharapkan pihak-pihak yang kompeten bersama-sama memikirkan solusinya ke depan, sehingga citra pelaksanaan Ujian Nasional ini akan semakin membaik. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar